Kamis, 31 Maret 2011

Mencintai dia....

Sepupu Pengantin itu Sahabatku
By : Ganta Vaksie

Ketika aku datang, sang pengantin baru saja selesai diarak berkeliling kampung dengan menggunakan kereta kencana yang diiringi kuda renggong dan juga aneka arak-arakan lainnya. Usai diarak berkeliling kampung kedua mempelai tersebut langsung ditempatkan ditengah-tengah balandongan untuk di sawer oleh sinden atau juru kawih yang sengaja di datangkan secara khusus oleh keluarga mempelai perempuan. Biasanya lagu-lagu yang dinyanyikan saat upacara nyawer ini, adalah lagu atau kidung yang berisi petuah-petuah hidup bagi kedua mempelai saat mengarungi bahtera rumahtangganya kelak di kemudian hari. Beras kuning, butiran kuncup melati dicampur dengan uang logam recehan yang disimpan dalam wadah tampolong yang terbuat dari bahan kuningan ini, isinya sesekali disebarkan oleh juru kawih ke arah kedua mempelai  pada setiap akhir paragraph dari kidung yang dinyanyikannya tersebut. Suara lembut sang juru kawih yang mendayu-dayu dengan gaya dan cengkok ala Cianjuran semakin terasa meresap di kalbu, bait-bait petuah  yang tersirat dalam kidung  tersebut, sarat dengan pelajaran serta makna hidup. Tidak hanya anak-anak saja yang ramai berebut uang logam recehan yang disebarkan sang juru kawih, melainkan hampir semua pengunjung turut serta, riuh gegap gempita manakala sang juru kawih kembali menyebarkan isi tampolongnya tersebut.
            Satu-persatu prosesi upacara adat ini berjalan sesuai agenda acara yang sudah ditata sedemikian rupa. Meski tampak kelelahan , kedua mempelai selalu saja berusaha tersenyum sumringah kepada semua yang hadir di sini. Betapa tidak, hari ini adalah merupakan hari yang paling dinantikan oleh keduanya. Perjalanan kisah cintanya yang selama ini terjalin, pada akhirnya terwujud nyata menuju pelaminan yang indah, berhiaskan aneka warna bunga yang cantik dan elok serta semerbak mewangi ke semua penjuru ruangan ini. Sang mempelai wanita bertahtakan mahkota yang gemerlap bertaburkan intan permata, semakin memancarkan aura kecantikan wajahnya. Sementara sang mempelai pria, berdiri tegap dengan pakaian laksamana dilaga pangeran kerajaan dari kahyangan dengan keris pusaka yang tersangkut di pinggang bagian belakang, sungguh seperti raja dan permaisuri dalam kisah pewayangan.

“Selamat ya Die…!” Kupeluk Aldie saat giliranku menyalaminya, dia pun balas memelukku dengan eratnya  disela-sela isak bahagianya.

“Terimakasih Pram!, Selalu do’akan kami berdua ya…!” Dia semakin erat memelukku, seakan tidak ingin melepaskanku dari pelukannya.

“Sudah pastilah bro…!, kebahagiaanmu adalah kebahagianku juga, Do’akan aku juga ya..!, biar aku buru-buru menyusul kalian…!” Aku berusaha bercanda hanya untuk mencairkan suasana dari segala keharuan ini.

“Kami berdua pasti akan selalu mendukungmu Pram...!” kembali Aldie memelukku dengan eratnya, sebelum akhirnya aku turut menyalami Shinta istrinya Aldie.

“Selamat ya Shin...!, Semoga kalian berdua akan selalu berbahagia selamanya..!” Kucium pipi kanan dan kirinya Shinta, akan tetapi Shinta malah menghamburkan diri ke dalam pelukanku sambil terisak.

“Terimakasih Mas Pram....!” Suaranya sedikit tersekat oleh isak tangisnya. Badannya sedikit terguncang dalam pelukanku, aku berusaha menahan berat tubuhnya yang bersandar penuh ditubuhku.

“Shinta...! sudahlah, nanti make-upmu luntur lho…!,” candaku sambil mengusap-usap bahunya, sebenarnya aku agak sedikit malu juga oleh tamu-tamu yang lainnya , sepertinya semua mata hanya tertuju pada adegan kami ini.

“Aku enggak bakalan kemana-mana kok Shin…!, sudahlah, kasian tamu-tamu yang lain sudah menunggu untuk menyalamimu..!, Berbahagialah Shin…!, pada akhirnya kamu dapat bersanding dengan Mas Aldiemu…!” Kuangkat wajah Shinta, hanya ingin meyakinkan jika dia baik-baik saja. Matanya sedikit sembab oleh air mata dan riasan bulu mata yang sedikit melumer.

            Dalam waktu yang bersamaan juru rias pengantin dengan sigap dan cekatan memebenahi riasan wajahnya Shinta yang sedikit berantakan karena tangisnya tadi. Aku pun segera berlalu meninggalkan pelaminan Aldie dan Shinta yang sudah di kerumuni beberapa teman, kerabat maupun tamu-tamu lainnya yang tengah menyalaminya untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka berdua. Aku kembali berbaur bersama tamu-tamu yang lainnya untuk sekedar menikmati aneka hidangan yang telah tersedia di sisi kanan dan kiri deretan kursi-kursi maupun beberapa hiasan rangkaian bunga-bunga aneka warna dengan menggunakan meja atau pot besar yang tingginya hampir setinggi orang dewasa.  Banyak sekali aneka hidangan yang dapat dipilih di sini, mulai dari aneka sajian prasmanan lengkap dengan tambahan menu dessert yang terdiri dari aneka buah-buahan, pudding, ice cream, pastry dan aneka jajanan pasar. Disudut-sudut ruangan juga disedikan aneka hidangan lainnya yang disajikan dengan menggunakan saung-saung kecil, ada siomay Bandung, soto ayam atau soto mie, pempek Palembang, bahkan aneka minuman penggugah selera lainnya, seperti es cendol, es dawet dan es doger pastinya.
            Bingung sendiri saat memilih bermacam-macam makanan yang disajikan tersebut, akhirnya aku lebih memilih menikmati buah-buahan saja dengan segelas air putih di tanganku. Dinginnya air yang kuminum ini sedikit dapat memberikan kesegaran di tenggorokanku dari panasnya udara siang ini di antara hiruk-pikuknya para tamu undangan yang tengah menikmati hidangan makan siangnya. Kuedarkan segenap pandanganku mengitari seisi gedung ini, hanya untuk sekedar mengusir sepiku dari kesendirianku ini. Sebenarnya aku datang ke pesta pernikahannya Aldie dan Shinta ini tidaklah sendirian, melainkan bersama papi, mamiku dan juga Tio adikku. Mami dan papiku sudah sejak tadi sibuk kesana-kemari saling bertegur sapa dengan semua tamu yang dikenalnya, mulai dari Bapak Walikota, orang-orang para pejabat pemerintahan kota, hingga para relasi Papi dan juga mami yang sibuk dalam bisnis property serta aneka usaha kulinernya. Sementara Tio, sudah sejak tadi aku tidak melihat batang hidungnya, rupanya sejak tadi dia sibuk mendekati Tiara adiknya Shinta yang memang satu kampus dengannya. Kini tinggallah aku sendiri yang kebingungan. Sangatlah malas sekali jika aku harus bergabung bersama papi dan mami yang pastinya terasa kaku sekali dengan suasana formal mereka saat menghadapi para koleganya yang rata-rata dari kalangan jetset. Beginilah resikonya jika sedang tidak memiliki kekasih hati yang selalu setia mendampingi pada setiap kesempatan seperti sekarang ini. Dalam kebingunganku ini, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namaku sambil menepuk bahuku, lumayan kaget juga sebenarnya, tapi untungnya aku dapat kembali menguasai diriku.

“Hi Pram…? Apa kabar…?” dia mengulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman, sambil sedikit mengernyitkan dahiku aku berusaha membalas jabat tangannya. Belum hilang rasa kagetku, dia kembali memperkenalkan dirinya.

“Oh ya, pasti kamu sudah lupa aku ya Pram…?, Aku Baruna…! Teman SMPmu dulu. Kamu ingat…?, dulu kita selalu bersepeda sepulang latihan Pramuka maupun UKS..!” dia berusaha mengingatkanku terhadapnya. Seketika aku kembali teringat tentang sosok di hadapanku ini. Aku langsung saja memeluknya sambil terbahak.

“Hah…? Kau kah ini Baruna...?, Bagaimana kamu bisa mengenaliku..?” Aku kembali mengguncang-guncang tubuh Baruna yang berada dalam pelukanku.

“Iya Pram...!, mana mugkin aku lupa dengan kamu sahabatku, apalagi wajah tampan kamu ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh pemirsa televisi yang sering menyaksikan berita-berita yang kamu bawakan, bukankah kamu ini adalah salah satu pembaca berita terfavorit saat ini kan..?” Baruna masih saja terus mengenggam tanganku dengan eratnya.

“Kamu bisa saja Bar..! Oh ya, Apa kabar kamu dan kemana saja selama ini...?” tanyaku sambil terus memandang wajahnya yang sangat berbeda sekali ketika masa SMP dulu. Rambutnya yang sedikit ikal, badannya yang sangat kurus dan warna kulitnya yang gelap karena sering terpanggang sinar matahari, maklum saja dia ini salah satu sahabatku yang gemar berolahraga, mulai dari sepak bola, basket hingga bulu tangkis, hampir semua jenis olah raga dia kuasai dan sering mendapat juara dalam beberapa perlombaan.

“Aku sering berpindah-pindah tempat Pram, mengikuti kepindahan papaku tugas prakteknya. SMAku saja aku pindah hingga ke tiga kota, di Nganjuk, Pasuruan dan terakhir di kota Malang. Untungnya saat aku menamatkan kuliahku hanya di satu kota saja, Melbourne Ausie. Dan sempat juga beberapa tahun aku bekerja di sana. Sebenarnya belum genap seminggu juga, aku ada disini Pram..” Baruna menarikku menjauh dari kerumunan tamu-tamu lainnya, menuju salah satu ruangan yang lumayan nyaman untuk kami mengobrol.

“Terus bagaimana kamu bisa datang ke pestanya Aldie dan Shinta…?” aku semakin bingung saja, bagaimana bisa Baruna tahu acara pernikahannya Aldie dan Shinta.

“Pram…, Aldie memang sahabat kita juga sewaktu SMP dulu. Akan tetapi sama halnya dengan kamu, aku juga lose contact dengan Aldie. Entah secara kebetulan atau tidak, sekitar tiga hari yang lalu aku baru mengetahuinya, jika calon suaminya sepupuku Shinta, adalah Aldie sahabat kecilku. Saat itu aku tidak dapat banyak bertanya tentang kalian berdua pada Shinta maupun keluargaku yang lainnya, karena mereka semua sangat sibuk mempersiapkan pesta pernikahannya Aldie dan Shinta ini ” sesekali Baruna meneguk minuman di tangannya.

“Jadi Shinta ini sepupumu Bar…?” tanyaku dengan sedikit terperangah karena tidak pernah menyangkanya.

“Iya Pram, Shinta ini adalah anaknya Tante Jane adik bungsu mamaku. Sebenarnya aku dan Shinta lumayan dekat Pram, selain kami sering bertemu dalam acara keluarga, kami juga sering berkirim kabar. Betapa begonya aku, seberapa sering Shinta bercerita tentang kekasihnya ini, mengapa aku tidak pernah menyangkanya jika Aldie adalah sahabatku yang pernah aku kenal dulu, bahkan Shinta juga banyak bercerita tentang persahabatan kalian bertiga ini” Baruna menepuk-nepuk kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. Aku hanya bisa tertawa melihat ulahnya ini.

“Dunia kok sempit banget ya Bar...?” Baruna hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil tidak henti-hentinya tertawa.

“Kok kalian bisa bersahabat Pram..?”tanyanya, saat dia mulai berhenti tertawa.

“Aku dan Aldie berkuliah di kampus yang sama namun berbeda jurusan, dan kebetulan Shinta adalah adik kelasnya Aldie dua tingkat dibawahnya. Aku tidak ingat persis kapan kami mulai berkenalan, yang jelas saat itu Aldie memperkenalkan Shinta sebagai pacarnya. Berhubung aku sendiri tidak memiliki pacar, akhirnya kami sering pergi bertiga kemanapun, aku sempat merasa tidak enak hati juga sebenarnya terhadap mereka, akan tetapi justru merekalah yang mengkondisikannya seperti itu, bahkan jika Aldie berhalangan untuk mengantarkan Shinta kesebuah acara, pastilah aku yang akan menggantikannya, dan itu sering terjadi diantara kami berdua, bahkan saat Aldie harus ikatan dinas keluar daerah selama beberapa waktu lamanya, aku dan Shinta sering menghabiskan waktu berdua saja. Terakhir aku berpisah dengan mereka saat aku harus meneruskan studiku di Boston, itu adalah hari-hari sepiku tanpa Aldie dan Shinta di sepanjang waktu selama aku disana. Untung saja mereka berdua selalu menghiburku melalui apapun yang dapat mereka dapat lakukan untuk aku, bahkan pada suatu kesempatan, mereka berdua sempat mengunjungiku di sana, bagiku itu adalah hadiah terindah  selama kami bersahabat. Mereka berdua benar-benar sahabat terbaikku Bar. Sekembalinya aku menyelesaikan setudiku, hari-hari selanjutnya kami disibukkan dengan kegiatan kami masing-masing. Aldie sudah menjadi seorang dokter professional yang berpraktek di beberapa Rumah Sakit ternama, sementara Shintapun dapat mengejar kesuksesan Aldie sebagai seorang ahli Gizi. Dan aku sendiri, sepulangku dari Boston aku langsung memimpin beberapa program acara pertelevisian pada stasiun Telivisi yang juga milik salah satu kerabat papiku. Sempat juga papi dan mami memintaku untuk meneruskan bisnis mereka, tapi aku belum tertarik Bar…, mungkin suatu saat nanti…!, oh ya, bagaima rencana kamu selanjutnya Bar…?” Tanyaku sambil kusuapkan sisa-sisa buah dipiring yang sudah sejak tadi aku bawa-bawa.     

“Entahlah Pram…!, sebenarnya ada tawaran untuk kerja disini dari teman dekatku yang dulu sama-sama di Ausie, mungkin baru minggu depan ini aku akan menghubunginya Pram…!” Jawab Baruna, sambil membuang pandangannya keluar ruangan ini.

“Bar…!, mungkin aku juga bisa Bantu kamu...! terserah kamu, kapanpun dimanapun aku pasti akan bantu, Papi dan mamiku juga akan dengan senang hati untuk menggajakmu bergabung di beberapa perusahaannya” kugenggam erat tangannya hanya untuk sekedar menyakinkannya.

“Thanks Pram...! Let’s seelah man...!” Dia hanya menepuk-nepuk bahuku dengan sebelah tangannya. Aku tahu persis bagaimana sifat Baruna, yang tidak mungkin dapat menerima tawaranku ini. Sepertinya dia lebih percaya pada kemampuannya sendiri, aku sangat menghargai keputusannnya ini.   

            Akhirnya kami berdua semakin larut dalam pembicaraan yang seru, kami saling bercerita tentang apapun. Rasa kehilangan yang dulu pernah kami berdua rasakan dapat kami curahkan saat ini. Kadang cerita kami berdua ini saling berselang antara cerita-cerita seru dengan cerita-cerita yang mengharukan, saat Baruna harus kehilangan papanya yang teramat dia sayangi. Kini dia hanya tinggal berdua saja bersama mamanya, mungkin ini adalah salah satu alasan kembalinya dia dari Ausie. Baruna sepertinya tidak ingin kehilangan orang yang teramat dia cintai untuk yang kedua kalinya, untuk itu dia rela meniggalkan kariernya yang cemerlang selama dia bekerja disana dan pada akhirnya memutuskan untuk tinggal disini menemani mamanya menghabiskan masa tuanya bersamanya.    
* * * * *
                Seperi biasanya pagi-pagi sekali aku sudah harus bersiap-siap diri berada di depan kamera untuk acara berita pagi secara live, hal ini sudah menjadi kegiatan keseharianku selama aku menekuni  bidang pekerjaan ini. Masih banyak segudang kesibukanku yang lainnya sepanjang hari ini. Karena sudah menjadi bagian dari hidupku, pekerjaan ini tidak pernah membuatku bosan maupun membatasi seluruh kehidupanku. Mungkin kesibukan-kesibukanku ini adalah salah satu yang membuatku sulit sekali menemukan pasangan hidupku, bukannya aku tidak ingin mengikuti jejaknya Aldie dan Shinta, akan tetapi sepertinya belum ada seseorang yang cocok dihatiku. Banyak diantara keluarga, kerabat, dan juga teman-teman dekatku yang menjodohkanku dengan beberapa teman maupun saudaranya, akan tetapi usaha mereka ini belum berhasil secara nyata.
            Siang ini rencananya aku akan makan siang bersama sepupuku Wisnu pemilik stasiun televisi tempatku bekerja. Menurut informasi Wisnu, katanya siang ini sengaja mengajakku makan siang bareng karena ada beberapa program acara baru yang ingin dia bicarakan denganku. Aku sudah dapat membayangkan tantangan apalagi yang ingin di ujikan untuk aku. Untuk mengurus semua program acaraku saja, aku sudah sangat kewalahan sekali, nyaris tidak ada waktu senggang untuk memikirkan hal lain lagi, hampir seluruh  waktuku benar-benar tersita hanya untuk mengurusinya. Sepertinya aku tidaklah akan sanggup jika harus mengurusi program acara yang baru lagi, meskipun menurut Wisnu secara konsep sudah diaturnya sedemikian rupa termasuk dengan beberapa crew baru yang sudah direkrutnya. Tapi itu terserah Wisnu saja, aku belum dapat memutuskannya, karena aku belum tahu persis seperti apa konsep program acara barunya ini.
            Sudah seperempat jam lamanya aku menunggu Wisnu di restoran yang sudah di janjikan. Bukan Wisnu namanya jika tidak ngaret, aku sering banget dibuatnya kesal jika harus janji ketemuan dengannya, tidak hanya sekali ini saja, sering sekali dia melakukan hal yang sama dengan alasan yang sepele banget sebenarnya. Telat bangunlah, lupalah, atau bahkan sibuk bangetlah dan segudang alasan lainnya. Percuma saja dia punya banyak sekretaris yang selalu mengurusinya. Tapi itulah Wisnu, dibalik kesuksesaannya sebagai pengusaha muda, terselip sedikit kekurangannya yang tidak banyak orang tahu selain orang-orang terdekatnya.  
            Daripada cacing-cacing diperutku semakin tidak dapat di komfromi untuk tidak berkudeta dengan aneka bunyi-bunyian yang membuat ulu hatiku semakin melilit minta diisi. Akhirnya kuputuskan untuk memesan makanan terlebih dahulu, biarlah Wisnu akan menyusul nanti, salah sendiri selalu datang terlambat, aku tidak mau penyakit maagku kambuh hanya gara-gara harus menunggu Wisnu yang terlambat datang. Dan benar saja hingga aku hampir menghabiskan menu makan siangku ini, Wisnu benar-benar belum menampakkan batang hidungnya bahkan tanpa kabar samasekali. Aku semakin asyik menikmati suap demi suap  makan siangku ini, jika tidak dikagetkan oleh sebuah teguran halus, mungkin aku akan terus saja asyik dengan kegiatan makan siangku ini. Aku hampir tersedak oleh makanan yang tengah aku kunyah dimulutku ketika melihat sosok yang tengah berdiri di hadapanku ini. Sosok jangkung yang selalu datang tiba-tiba dan sangat mengagetkanku. Dia berdiri mematung dihadapanku dengan penampilan yang sedikit berbeda sekali. Setelan kemeja bergaris lembut berwarna warm white dengan dasi motif floral warna cerah yang melingkar pada kerah di lehernya yang kokoh dan sedikit memepelihatkan otot bahunya yang kekar. Wajah tampannya terlihat sangat segar dengan potongan rambut kelimisnya yang disisir secara acak dengan sebagian poni yang dibiarkan menutupi sebagian dahinya. Senyumnya terus saja mengembang dengan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi, sungguh sosok yang sempurna. Aku masih saja terbengong memperhatikan orang yang sejak beberapa detik yang lalu berdiri dihadapanku ini.

“Wah, makan siang yang nikmat nih…?” sapanya, sambil duduk dihadapanku.

“Baruna….?, makan disini juga…?” belum habis rasa kagetku, dia sudah memanggil pelayan restoran untuk segera memesan makan siangnya.

“Sebenarnya kebetulan juga sih Pram, tadinya aku janji makan siang disini bareng temanku yang menawari aku kerjaan itu Pram, hanya saja dia mungkin datang terlambat. Sempat bingung juga sih, ketika dia baru saja mengabari keterlambatannya ini, tapi ternyata ini memang hari baikku Pram, Tanpa sengaja aku lihat kamu tengah asyik makan disini, aku jadi ikutan lapar deh jadinya…” dia sedikit terbahak, aku hanya manggut-manggut saja sambil mengaduk-aduk sisa makanku.

“Tapi maaf  Bar, makananku sudah hampir habis nih…!” kataku sambil menunjukkan sisa makanku pada Baruna.
“It’s oke Pram, kamu kan bisa sambil makan dessertnya saat aku makan nanti” dia sedikit merebahkan diri pada sandaran kursi yang memang lumayan empuk ini.

“Aku berhenti makan dulu deh, sampai makanan pesananmu datang...!” aku menghentikan makanku dan ikut bersandar dikursiku seperti yang Baruna lakukan.

“Lho kok gitu Pram...?, mana enak makan pakai acara dua sesi gitu...!” Baruna menertawaiku sambil kembali menyodorkan makananku.

“Enggak enaklah Bar, masa kamu nonton aku makan sambil menelan air liur gitu..!” candaku sambil tetap bersandar dikursiku.

“Selera makanmu bisa hilang Pram, jika harus menunggu makanan yang aku pesan datang disini” Baruna memaksaku untuk melanjutkan makanku dengan menarik-narik lenganku.

“Kok kamu maksa sih…!, yang punya selera makan kan aku, bukan kamu…! Jadi enggak bakalan ngaruh kali Bar…!” Aku mencibir kearahnya, sementara dia hanya garuk-garuk kepala saja dengan ulahku ini.

“Ya sudah, kalau kamu enggak mau nerusin, biar aku saja yang menghabiskannya…!” candanya sambil mulai menyuapkan sisa makanku tadi.

“Baruna…? Dasar….! bilang saja kamu memang mau makananku…!” Aku mencibir kearahnya yang tengah asyik mengunyah makananku.

“Wah enak banget Pram…!, sini aku suapin kamu….!” Baruna berusaha menyuapkan makanan kemulutku.  
Awalnya aku berusaha untuk menolaknya, namun karena Baruna benar-benar memaksanya, akhirnya aku mau juga disuapi olehnya, asyik juga makan seperti ini, jadi mengingatkanku pada kenangan masa kecilku bersamanya dan juga Aldie. Dulu kami sering makan bersama sepulang sekolah, sering tukar-tukaran lauk maupun sayur yang kami bawa. Papahare istilah makan bersama ini, kami tidak hanya melakukannya diteras rumah saja,  bahkan lebih sering dikebun maupun di taman belakang. Kenangan itu sepertinya masih terekam dengan jelas dalam ingatanku dan juga Baruna tentunya, kami asyik mengaduk-aduk makanan yang berkuah dan saling menyuapkan satu sama lain hingga makanan kami berdua habis nyaris tidak bersisa. Makan siang kali ini benar-benar telah mengenyangkanku, hingga aku sedikit kesulitan untuk bernafas.

“Kamu rakus Pram, makananku saja ikut kamu habiskan…!” ledek Baruna sambil kembali menyandarkan tubuhnya dikursi empuk mungkin karena sedikit kekenyangan.

“Kamu yang curang Bar..!, terus-terusan jejelin aku dengan suapanmu tadi” aku berusaha membela diri dengan nafas yang sedikit terengah.

“Kamu tidak berubah ya Pram…! Masih seperti dulu, aku jadi kangen masa-masa itu Pram” Baruna seperti menerawang pada ingatan masa kecilnya.

“Kamu juga sama Bar, tidak pernah berubah, masih konyol seperti dulu...!” aku jadi ikut-ikutan mengingat masa-masa indah dulu.

“Pram, kalau kamu ada waktu, sering-seringlah main kerumahku...!, mamaku sering nanyain kamu tuh…!” ajak Baruna sambil menatap kearahku.

“Pastilah Bar…!, kamu juga dong, main ke tempatku…!” jawabku sambil meneguk air putih hanya untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang tertinggal diantara rongga mulutku dan sela-sela gigiku.

“Akan aku usahakan Pram...!” jawabnya, sambil terus menatap kearahku dengan senyum manisnya dan sorot matanya yang tajam.

“Oh ya, bagaimana jika sore ini saja..!, kamu bisa Bar...?. Rencananya setelah meeting dengan sepupuku, aku mau langsung pulang Bar..., Kamu sendiri bagaimana ..?”tanyaku sambil menunggu jawabannya.

“Boleh…! Aku bisa kok, usai ketemuan dengan temanku ini, aku juga free kok…!” jawabnya sambil mengangkat kedua telapak tangannya.

“Baguslah, kalau begitu Bar..! Anyway, kamu ketemu temanmu disini kan…?” tanyaku, seingatku dia tadi menyebutkan akan bertemu dengan temannya disini.

“Yups….! Sepertinya dia sudah datang tuh…!” Baruna menunjuk pada arah datangnya orang yang dia maksudkan sebagai temannya, kulihat ada seseorang yang tengah bergegas menuju pintu masuk restoran ini.

“Ya sudah, lebih baik kamu buru-buru temui dia Bar…!” aku menyuruhnya untuk segera beranjak dari tempatnya duduk.

“Biarlah Pram, dia pasti akan mencariku disini, sekalian ingin aku kenalkan dengan kamu Pram..!” jawabnya dengan santai.

            Aku kembali merebahkan dikursi empuk ini, sambil memperhatikan seorang pelayan yang tengah membereskan piring-piring dan juga gelas bekas makan siang aku dan Baruna. Perutku benar-benar seakan mau meledak jika tidak segera aku keluarkan, untuk itu aku berpamitan pada Baruna untuk segera ke kamar kecil. Dengan mengeluarkanya dalam sebentuk air seni yang meskipun jumlahnya tidaklah begitu menguras isi perutku, paling tidak dapat sedikit mengurangi rasa sesak yang disebabkan kelebihan muatan pada usus besar dan juga kandung kemihku. Tidaklah begitu lama aku berada di kamar kecil, begitu selesai merapihkan diriku kembali, aku langsung menuju tempatku duduk bersama Baruna tadi. Sesampainya di sana, aku kembali dikagetkan oleh sosok laki-laki yang tengah duduk bersebelahan bersama Baruna. Tidak lain dan tidak bukan, sosok laki-laki itu adalah Wisnu sepupuku.

“Itu dia Nu, sahabatku yang baru saja aku ceritakan tadi” Baruna menunjuk kearahku sambil bangkit dari duduknya.

“Wisnu….? Kok kamu baru datang sih…!, kebiasaan deh…!” gerutuku sambil duduk di kursiku kembali.

“Sorry Pram….!, Jangan ngambek gitu dong…!” Wisnu berusaha membujukku dengan mimik yang dibuat memelas karena merasa bersalah terhadapku.

“Basi tau…!. Oh ya, kenalin ini temanku Baruna…!” kataku sambil menunjuk kearah Bara.

“Pram...., Baruna ini temanku juga waktu Ausie dulu...!” jawab Wisnu sambil mendelik kearahku.

“Oh jadi…? Wisnu ini, teman yang kamu maksud itu Bar…?” Tanyaku pada Baruna, dia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum saja.

“Aku juga baru tahu barusan Pram, jika Wisnu ini adalah sepupumu yang sedang kamu tunggu juga” Tawa Baruna semakin mengembang manakala mengetahui peristiwa yang benar-benar kebetulan dan tidak pernah menduganya.

“Pram dan juga Bara, sebenarnya aku juga tidak pernah menyangka sebelumnya dengan semua kebetulan ini. Aku hanya bermaksud ingin mempertemukan kalian, karena sehubungan dengan program acara baru yang akan aku sampaikan pada kalian berdua” Wisnu menengahi kekagetan diantara kami bertiga ini.

“Jadi, maksud kamu Baruna adalah orang yang akan ditunjuk untuk memimpin program baru ini Nu...?” tanyaku hanya untuk memastikan saja, karena aku masih bingung dengan segala kebetulan ini.

“Betul sekali Pram…! Baruna ini selain sahabatku, dia juga termasuk orang yang memang sangat berpengalaman sekali dalam dunia pertelevisian khususnya untuk acara-acara yang sifatnya berbentuk hiburan, seperti acara musik, reality show, kuis dan lain sebagainya. Karena dia pernah membuat beberapa program acara televisi tersebut untuk beberapa PH dan stasiun televisi di Ausie sana,” aku hanya manggut-manggut saja mendengarkannya, sementara Baruna sendiri hanya tertunduk saja tanpa ekspresi apa-apa, aku tidak tahu persis apa yang tengah dipikirkannya.

“Selama ini kamu paling jagonya membuat terobosan-terobosan baru untuk semua program acara yang kamu buat Pram, akan tetapi kesemuanya adalah acara yang benar-benar serius, mulai dari pemberitaan, talk show hingga liputan-liputan khusus yang bersifat formal dengan topik-topik yang serius, dan segmentasinya juga hanya dari kalangan tertentu saja. Bahkan acara-acaramu ini sudah menjadi ikon dari televisi kita, karena sumber-sumber yang kamu sajikanpun memang benar-benar dari sumber yang kompeten dan juga up to date, aku bangga dengan semua hasil kerja kerasmu Pram, tidak hanya sebagai pimpinan perusahaan. Akan tetapi secara pribadi dan sebagai sepupumu, dan tentunya juga sebagai teman serta sahabatmu. Terkadang aku suka merasa sangat iri terhadapmu Pram…! Tidak hanya papi mamimu saja yang selalu membangga-banggakanmu, akan tetapi ayah ibuku juga selalu saja membanding-bandingkanmu dengan aku. Terimakasih Pram atas semua ini…!” Wisnu menghampiriku untuk menjabat tanganku dan memelukku, aku hanya terdiam saja dengan semua ini.

“Pram, aku berharap kamu juga dapat membantu Baruna untuk program barunya ini, meskipun program acaranya sangat bertolak belakang dengan kamu, paling tidak kamu dapat membantunya secara structural seperti yang selama ini kamu lakukan tanpa campur tanganku, aku yakin kamu dapat melakukannya demi Baruna dan juga aku Pram…!” Wisnu seperti memohon persetujuanku, padahal sebenarnya dialah yang paling berkuasa dalam hal ini.

“Jujur aku sangat senang sekali, jika Baruna memang benar-benar bergabung bersama kita Nu…! Aku pasti akan banyak membantunya semampu yang aku bisa…!” aku sedikit meluap-luap karena terbawa perasaan bahagiaku.

“Terimakasih Pram, aku semakin bangga terhadapmu…!” Wisnu menepuk-nepuk bahuku menunjukkan rasa terimakasihnya yang tulus terhadapku.

“Selamat bergabung ya Bar…! Aku benar-benar merasa senang” Kuulurkan tanganku untuk menyalami Bara yang masih saja tertunduk.

“Terimakasih  Pram….!” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Baruna, sebelum dia kembali tertunduk seperti tadi.

“Baiklah Bro…! kita rayakan acara pertemuan kita ini dengan makan-makan sepuasnya di sini...!” Wisnu menggandeng aku dan Bara dengan penuh kegirangan.

“Makan...?, kelaut aja kali...!” gerutuku dengan sinis, Wisnu hanya celingukan sendiri tanpa tahu kesalahannya.

“Kita sudah makan Nu...!, kamu sendiri yang telat datang...!” Baruna meyakinkan Wisnu yang masih saja terbengong.

“Liat Nu…!, ini sudah jam setengah tiga sore…!” kataku, sambil menunjukkan jam ditanganku kearahnya.

“Terus gimana dong…?, enaknya kita ngapain nih…?” Tanya Wisnu sambil cengar-cengir kebingungan sendiri.

“Gimana kalau kita main Bilyard, terus nonton dan karokean sampai pagi, besok kan libur ini…!” usulku  pada mereka.
“Wah ide bagus tuh Pram…!” seru Wisnu dengan girang, dia  memang terkadang sering telat mikir   untuk ide-ide dadakan seperti ini.

“Aku sih setuju saja..! apa perlu kita ajak Aldie dan Shinta…?” Tanya Baruna menunggu persetujuanku.

“Boleh juga Bar, pasti mereka mau deh, nanti aku coba telpon mereka!” jawabku, aku yakin sekali Aldie dan Shinta pasti akan senang sekali ikut bergabung bersama kami.

“Eit tunggu…!, aku juga akan ajak Laras calon istriku Pram…!”  dengan bangganya Wisnu menyebut nama itu dihadapan kami berdua.

“Hah…? Enggak salah nih…?” tanyaku dengan sedikit mengernyitkan kening kearahnya.

“Rupanya, kamu serius  juga ya Nu, pacaran sama Laras...!” Baruna hanya tersenyum saja kearah Wisnu, sepertinya dia tahu banyak tentang hubungan Wisnu dengan Laras ini.

“Kamu kenal Bar dengan yang namanya Laras?” aku semakin bertanya-tanya saja, karena tidak pernah tahu dan melihat Wisnu jalan dengan wanita manapun selama ini.

“Iya, kami dulu sama-sama kuliah di Ausie Pram...! Rupanya usaha Laras ini tidaklah sia-sia menaklukan hati sang arjuna yang klemer-klemer ini...!” tambah Baruna seakan meledek Wisnu.

“Aku bukannya klemer-klemer Bar…!, aku pikir dulu Laras itu suka sama kamu Bar, aku jadi merasa tidak enak hati juga jadinya” Wisnu sedikit cengar-cengir menjelaskannya.

“Kamu bisa saja Nu, orang jelas-jelas dulu Laras sering membuatkanmu aneka masakan hanya untuk sekedar menarik perhatianmu, sementara kamu sendiri tidak pernah memperdulikannya” Baruna menonjok bahu Wisnu dengan tawanya yang ngakak.

“Emang chicken nih orang...!” kataku sambil menyikutnya dengan gemas.

“Jangan salah ya bung…! Biar chicken, pada akhirnya aku dapat menggandeng Laras…!, nah kalian…? Mana man….?” Ledeknya, sambil menguncang-guncang bahuku dan juga menonjok lengannya Baruna.

“Iya sih…! Tapi tunggulah, pasti akan ada bidadari itu untuk kami berdua, iya kan Bar…?” Bara hanya mengangguk tanda setuju sambil terbahak.

            Kami bertiga semakin larut dalam canda tawa dan kebahagiaan yang tidak pernah kami duga sebelumnya. Hari semakin sore menjelang malam saat kami meninggalkan tempat ini. Gemerlap cahaya lampu-lampu mercury sudah menghiasi seantero kota yang mulai menggeliat menyambut indahnya kehidupan malam. Langit terlihat begitu cerahnya dihiasi kerlip bintang-bintang bak permata yang bertaburan. Seakan menyambut kebahagiaan kami bertiga yang dipertemukan kembali seperti ingin mengulang masa-masa kecil yang indah yang pernah kami lalui bersama. Dan satu lagi, aku harus berucap syukur pada Tuhan, karena disaat aku harus kehilangan Aldie dengan kehidupan barunya, kini Tuhan telah menggantinya dengan Baruna, yang ternyata sepupu pengantin itu adalah sahabatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar