Kamis, 31 Maret 2011

Krisis hidup...


Tangis anak-anakku…..
By : Ganta Vaksie

Kulihat  Si Sulung sudah mulai terlelap tidur diatas tumpukkan kardus mie instant. Wajahnya yang pucat, terlihat begitu damai dalam lelap tidurnya. Bbibirnya yang sebagian terkelupas dan mengering, sesekali bergerak-gerak. Entah apa yang sedang diimpikannya. Mungkin saja dia tengah bermimpi makan enak, karena hampir dua hari ini, tidak sesuap makananpun yang  dapat dimakannya. Sementara Si Kecil yang berada dipangkuanku, dia masih saja terus gelisah menjelang tidurnya. Mungkin saja matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Rasa laparnya ini lebih mengalahkan rasa kantuknya, meski hari sudah mulai semakin larut. Sejak sore tadi, dia terus saja merengek minta dibelikan nasi bungkus. Sejak tadi pula, aku berusaha terus membujuknya, sudah ratusan dongeng yang dia dengarkan, hanya untuk mengalihkan rengekannya.  Selain itu juga, aku berharap rasa kantuknya ini, akan membuatnya segera  terlelap dan melupakan sejenak dari rasa laparnya yang mungkin saja semakin menjadi-jadi. Hatiku benar-benar hancur, melihat kondisi buah hatiku menderita seperti ini. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan apa saja sesuai kemampuanku, tapi tidak untuk meminta-minta. Bagiku hal yang terakhir ini, tidak akan pernah aku lakukan meski keadaanku sesulit ini. Selagi raga dan jiwaku masih sehat. Aku akan terus saja berusaha untuk bekerja semampu yang dapat aku lakukan.
Sebenarnya sudah sering sekali juga, aku menjalani beberapa tes wawancara kerja. Sebenarnya, untuk saat ini aku tidak memerlukan pekerjaan dengan jabatan yang tinggi, yang sesuai dengan pendidikan dan juga pengalaman kerjaku. Yang terpenting bagiku saat ini adalah aku dapat memiliki penghasilan untuk kelangsungan hidupku dan juga kedua anakku.Aakan tetapi hingga hari ini, semua hasil tes dari lamaran pekerjaanku ini belum ada titik terang untuk dapat diterima diperusahaan tersebut. Sudah beberapa kali juga aku mencoba menghubungi beberapa teman dekatku dan juga partner bisnisku dulu. Tidak bermaksud untuk meminta belas kasihan mereka, dengan mengharapkan santunan ataupun bentuk bantuan lainnya, seperti yang mereka asumsikan selama ini. Padahal yang aku butuhkan hanyalah pekerjaan. Mungkin saja mereka dapat memeberiku pekerjaan apa saja, baik di perusahaannya maupun melalui rekomendasinya. Selain mereka ini dulunya pernah menjadi partner bisnisku. Paling tidak, aku pernah memberikan kontribusi yang lumayan besar atas bisnis-bisnisnya mereka ini. Tapi sepertinya, semua itu tidaklah begitu ada artinya  lagi ketika aku benar-benar terpuruk. Semuanya tidak mungkin lagi dapat aku harapkan lagi. Aku benar-benar berada pada titik nol besar. Tidak lagi memiliki apa-apa.  Jangankan teman, sahabat atau kerabat, mungkin saudaraku juga sudah enggan lagi untuk perduli terhadapku, ketika aku benar-benar sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Tidak hanya bisnisku saja yang mengalami kebangkrutan, akan tetapi keluargaku juga ikut hancur. Istriku yang semula aku fikir adalah orang-satu-satunya tempat dimana aku berkeluh kesah dalam kondisi apapun, dia begitu tega meninggalkanku dan juga kedua anak-anakku. Dia lebih memilih kehidupannya yang dulu,  dimana dia tidak ingin  kekurangan apapun.
“Ayah, aku laper….!” Suara lirih anakku, seketika membuyarkan lamunanku.
“Sabar sayang…!, ayah usap-usap perutnya ya…!” secara perlahan aku mulai mengusap-usap bagian perutnya yang keroncongan minta untuk diisi.
“Aku ingin sekali makan dengan pecel lele Yah…!” pintanya dengan suara yang semakin memelas.
“Iya sayang…!, sekarang sudah terlalu malam, lebih baik kamu segera tidur ya…!, ayah akan bacakan senandung sholawat, pengantar tidurmu ya…!” dengan suara yang aku buat selembut mungkin, aku mulai menyenandungkan sholawat Nabi sebagai pengantar tidurnya.
            Tanpa terasa air mataku semakin deras mengalir dipipiku, saat aku memandangi wajah pucat sibungsu yang sudah mulai terlelap. Semoga saja, tidurnya akan terus lelap hingga esok pagi, paling tidak hanya untuk melupakannya sejenak dari rasa laparnya. Malam sudah semakin beranjak menjelang pagi, dikejauhan masih terdengar suara dari beberapa kendaraan yang masih melintasi jalanan besar yang ada diatas jembatan dimana aku dan kedua anakku bermalam disini. Aku masih saja memandangi keduanya silih bergantian, mereka terlihat sangat pulas sekali dalam tidurnya. Hatiku semakin terasa perih sekali, manakala memandangi lekat-lekat wajah kedua anakku ini, wajah polos mereka yang seharusnya tidak menanggung derita seberat ini. Semoga saja apa yang terjadi saat ini, akan segera berlalu. Sepertinya aku tidak kuasa lagi untuk menghadapinya, jika melihat kondisi anak-anakku yang tengah merengek kelaparan. Akan tetapi, anak-anakku juga yang menjadikanku tetap kuat dan selalu berbesar hati atas semua yang telah menimpa kehidupanku saat ini. Seperti biasanya, ketika anak-anakku lelap dalam tidurnya, aku sengaja memanfaatkannya untuk bersujud menghadapNya. Perlahan aku bangkit dari dudukku, untuk segera mengambil air wudhu yang ada di pinggiran kali. Dengan diterangi keremangan cahaya lampu jalanan dan juga sinar bulan yang samar-samar, aku mulai melafadzkan segala do’a-do’a dalam sujudku. Aku selalu meyakini, jika suatu saat nanti Tuhan pasti akan mengangkat semua penderitaaanku ini.
            Kejadian ini bermula sekitar setengah tahun yang lalu. Perusahaan yang selama ini aku rintis mengalami kebangkrutan total, karena kecerobohanku sendiri. Partner bisnisku yang juga adalah sahabat karibku sendiri, yang menjebloskan bisnisku ini kelubang kehancuran. Hampir semua asset perusahaan diambil alih dan disita oleh bank, guna menutupi seluruh hutang-hutang perusahaan. Satu persatu barang-barang berharga yang tersisapun ikut terjual untuk menutupi semua kebutuhan hidup keluargaku. Puncaknya adalah ketika rumah yang kami tinggalipun, pada akhirnya harus kami lepaskan, demi menutupi semua sisa-sisa hutangku. Pihak penyita tidak lagi memberikan kami kesempatan untuk membereskan sisa-sisa barang-barang kami. Dengan diusir paksa, akhirnya aku dan kedua anakku harus keluar dan pergi meninggalkan rumah itu. Untung saja, ketika itu Pak Sopari mantan sopir keluargaku, memberikan kami tumpangan untuk tinggal sementara waktu di rumahnya yang berukuran sangat sempit  untuk dihuni oleh istri dan juga keempat anaknya. Apa jadinya jika aku dan juga anak-anakku harus ikut tinggal bersama mereka. Hal itulah yang menjadi alasanku untuk tidak jadi tinggal di rumahnya keluarga Pak Sopari.
“Bapak dan anak-anak mau tinggal dimana pak…?, walaupun rumah ini sempit, paling tidak untuk sementara waktu Bapak dapat tinggal dulu di rumah kami ini…!. Tolonglah Pak, lebih baik Bapak fikirkan kembali niat Bapak ini, kasihan anak-anak Pak…!” suara Bu Sopari begitu sangat memelas sambil terus saja terisak.
“Betul Pak, yang istri saya bilang barusan. Biar bagaimanapun, rumah ini kan Bapak yang memebelikannnya untuk kami tinggali. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi bapak dan juga anak-anak untuk pergi dari rumah ini. Walaupun rumah ini kecil, paling tidak masih ada satu kamar yang bisa bapak tempati bersama anak-anak. Biarlah saya dan anak-anak saya tidur di disini saja Pak. Sejak dulu kami memang sudah terbiasa tidur seperti ini sebelumnya. Berkat kebaikan Bapak pula, pada akhirnya kami sekeluarga dapat tinggal dengan layak di rumah ini” tidak henti-hentinya Pak Sopari menggenggam tanganku, untuk meluluhkan hatiku supaya tidak jadi pergi dari rumahnya.
“Pak Sopari dan juga Ibu..! Terimakasih atas kebaikannya..!. Pak Sopari dan keluarga, sudah banyak sekali membantu keluarga saya. Saya tidak ingin terus-terusan merepotkan kalian. Biarlah, saya dan anak-anak tetap pergi. Insyaalloh, kami dapat menjalani semua ini dengan sekuat hati. Mohon do’anya saja untuk kebaikan kami semua…!” tidak henti-hentinya aku membelai rambut kedua anakku silih bergantian. Mereka berdua hanya tidur-tiduran saja diatas pangkuanku, meski sejak tadi anak-anaknya Pak Sopari mengajaknya bermain bersama dengan membujuknya berkali-kali.
“Pak tolonglah…!, paling tidak untuk terakhir kalinya, izinkan kami untuk membantu Bapak…!”  Pak Sopari sepertinya begitu sangat mengkhawatirkan keadaanku.
“Iya Pak…! bagi kami, semua ini tidaklah ada artinya, bila dibandingkan dengan segala kebaikan bapak selama ini terhadap kami” Tangis Bu Sopari semakin menjadi-jadi, aku jadi semakin tidak enak hati saja.
“Sudahlah Bu…! Tidak perlu membesar-besarkan hal itu lagi…! Biarlah kami pergi Bu…!, sekali lagi terimakasih atas semua kebaikannnya…! Saya dan anak-anak pamit ya…!” kuajak anak-anakku untuk bangkit, sambil membenahi tas yang tadi kami biarkan tergeletak dilantai.
“Kita mau kemana Yah…?” Tanya si sulung, sambil tetap menggelendot di lenganku.
“Ayo, kita pergi sayang…!” ajakku, sambil membetulkan letak ransel dipundaknya.
“Ayah, kita akan tidur di hotel  ya…? Asyiiik……!” teriak si bungsu, bersorak dengan riangnya. Aku hanya diam saja, sambil membimbing mereka keluar dari rumah keluarga Pak Sopari.
       Dengan sangat berat hati, pada akhirnya Pak sopari dan juga istrinya merelakan kepergianku dan juga kedua anakku. Uraian air mata haru dan juga sekelumit Do’a mereka berdua, ikut mengantarkan kepergian kami hingga ujung gang. Aku sendiri masih bingung, hendak kemanakah gerangan aku akan membawa kedua anak-anakku pergi dan tinggal. Kini kami jadi gelandangan, tanpa pernah tahu kemana kami harus berteduh meskipun hanya untuk sementara waktu. Aku sudah tidak memiliki apapun, termasuk uang sepeserpun. Karena sisa uang yang aku miliki, hanya cukup hingga hari kemarin, untuk makan dan juga ongkos bis kota saat aku memenuhi panggilan interview dari perusahaan tempat aku melamar pekerjaan beberapa waktu yang lalu. Aku ingat, tadi Pak sopari sempat memberikan sesuatu yang dia susupkan kedalam tas ransel anakku.
“Ini ada sesuatu Pak..!, mungkin tidak seberapa, semoga saja dapat sedikit membantu bapak dan juga anak-anak…!” awalnya dia memeberikan ini saat menyalamiku, akan tetapi aku buru-buru menolaknya. Meskipun dia begitu memaksanya.
            Pada akhirnya aku hanya bisa diam saja, ketika Pak Sopari  menyusupkan amplop itu kedalam tas ransel anakku. Aku tidak kuasa lagi untuk berkata apa-apa atas segala kebaikan dan juga pengabdiannya terhadap keluargaku.  Benar saja, ternyata isi amplop yang Pak Sopari berikan ini, sangat berguna sekali untuk aku dan juga anak-anakku. Selain sejumlah uang, dia juga memberikan sebuah handphone yang dulu pernah aku belikan untuknya. Handphone ini akan sangat bermanfaat sekali bagiku, paling tidak jika aku ada panggilan kerja ataupun hal lainnya.
            Jika aku mengingat masa jayaku dulu. Seingatku aku tidak pernah kikir terhadap siapapun, bahkan aku termasuk orang yang tidak tegaan. Jangankan untuk membantu saudara-saudaraku, untuk orang yang baru aku kenalpun, aku tidak pernah segan-segan untuk membantunya ketika merkea meminta pertolonganku. Hidup yang serba kecukupan, rumah mewah dibeberapa tempat elit dan juga kendaraan-kendaraan mewah keluaran terbaru yang selalu siap mengantarkanku dan juga anak-anakku kemanapun kami pergi. Berlibur dan berwisata ke berbagai tempat diseluruh belahan dunia, sudah menjadi agenda rutin keluargaku. Sepertinya semua baru saja terjadi kemarin ini, padahal sudah hampir setahun ini,  aku dan anak-anakku berada dalam kondisi yang seratus delapanpuluh derajat, sangat  berbeda sekali bila dibandingkan dengan pada masa kejayaannku sebelumnya.  Puncaknya adalah, ketika aku dan anak-anakku diusir paksa dari rumahku oleh petugas eksekusi. Dengan sangat terpaksa kami harus meninggalkan rumah yang selama ini kami tinggali. Sejak saat itu, kehidupanku dan juga anak-anakku mulai terlunta-lunta. Kami tinggal dimana saja yang dapat kami jadikan tempat untuk sekedar berteduh maupun tidur di sepanjang malam yang dingin dan juga lembab. Tidak hanya ditemani oleh nyamuk-nyamuk ganas penghisap darah, melainkan aneka binatang lainnyapun sudah menjadi teman hidup kami selama menjadi gelandangan.
            Aku dan anak-anakku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan kami sekarang ini. Awalnya kami hidup dari mengumpulkan barang-barang bekas yang sengaja kami pungut di tempat-tempat sampah. Hasilnya lumayan dapat memenuhi kebutuhan makan kami sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, kehidupan kami sedikit mengalami peningkatan. Hal ini berawal, pada saat aku dimintai tolong oleh seseorang untuk membereskan kabel-kabel, pipa dan juga peralatan lainnya di sebuah bengkel reparasi salah satu merek computer ternama. Ketika itu, aku sedang mengorek-ngorek isi tong sampahnya, barangkali saja ada barang-barang bekas yang dapat aku jual ke tengkulak. Tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya yang menghampiriku dan menyuruhku untuk membereskan semua barang-barang yang berserakan di bengkelnya tersebut. Disaat yang bersamaan, datang seorang ibu-ibu muda dengan pakaian yang serba glamour. Tidak hanya penampilannya saja yang menunjukkann keangkuhannya, akan tetapi dari caranya dia berbicarapun semakin memeprjelas karakternya. Dengan berkacak pinggang, dia mulai mengumpat melontarkan kata-kata kasar kepada si pemilik bengkel reparasi yang sedikit kebingungan menghadapinya. Rupanya ibu ini, baru saja memperbaiki laptopnya yang rusak. Entah apa yang terjadi dengan laptopnya tersebut, sehingga dia begitu marahnya melabrak pemilik bengkel ini. Secara tidak sengaja aku dapat mendengar semua yang disampaikan oleh ibu ini. Bagaimana tidak, jangankan aku yang berada didekatnya, mungkin hingga tempat parkirpun suaranya akan terdengar dengan jelas. Setengah berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah wajah sipemilik bengkel, ibu ini terus saja nyerocos tanpa terkendali. Pada akhirnya dia capek sendiri juga marah-marah seperti ini, lambat laun suaranya mulai melunak dan bisa diajak untuk kompromi. Dengan sikap yang sedikit takut-takut, akhirnya bapak si pemilik bengkel dapat mengajak perempuan ini untuk duduk dan berbicara bersama secara baik-baik. Entah apa yang dijanjikan oleh si bapak pemilik bengkel kepada perempuan yang tadi marah-marah. Karena aku lihat, sesaat kemudian mereka berdua sudah berdamai, bahkan sepertinya mereka kini sudah saling bercanda, terdengar dari derai tawa mereka berdua, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka berdua barusan. Aneh memang, tapi itulah manusia dengan segala macam watak dan juga karakternya. Mungkin dulu, aku juga pernah berlaku seperti itu tanpa aku sadari. Sebenarnya aku tidak ingin marah atau berbicara dengan nada yang tinggi kepada siapapun. Kepada para stafku dikantor, para pegawai di rumah, partner bisnis atau siapapun itu. Aku hanya bersikap tegas saja. Aku ingin mereka menyadari kekeliruannya atas apa yang telah mereka lakukan  dan merekapun berusaha untuk memperbaikinya. Begitupun sebaliknya jika itu terjadi dengan aku. Maka dengan berbesar hati aku akan meminta maaf dan mengakui kekeliruanku kepada siapapun, termasuk kepada para pembantuku dirumah atau bahkan sopirku.
“Sudah selesai Pak…?” Tanya bapak pemilik bengkel tiba-tiba, suaranya yang berat seketika sudah membuyarkan lamunanku.
“Sudah Pak…!” jawabku, dengan sedikit gugup.
“Kalau sudah, tolong langsung dibawa kegudang belakang ya Pak..!, Bapak masuk melalui pintu itu…!, habis itu Bapak masuk keruangan saya ya…! Ada yang masih dibereskan disini…!” perintahnya, sambil menunjukkan arah pintu menuju gudang.
“Baik Pak…!” jawabku, sambil membawa barang-barang yang tadi aku bereskan menuju gudang.
            Dengan sangat  hati-hati sekali, aku mulai melewati  pintu yang menuju gudang. Pintu ini menuju sebuah lorong yang mengapit beberapa ruangan pada sisi kanan dan kirinya. Ruangan-ruangan ini ternyata merupakan tempat mengerjakan reparasi komputer oleh beberapa teknisi yang sudah terlatih, terlihat dari keseriusan mereka ketika sedang bekerja.    Usai meletakkan barang-barang tadi, aku bergegas menuju ruangan Bapak pemilik bengkel ini, yang letaknya berseberangan dengan ruangan para teknisi tadi. Usai mengetuk pintu ruangannya, aku dipersilahkan masuk olehnya. Agak canggung juga aku berada diruangannya yang dipenuhi oleh beberapa CPU, monitor dan juga perlengkapan computer lainnya.
“Silahkan duduk Pak disini…!” dia memberikan kursi kearahku, aku hanya menutut saja untuk duduk dihadapan meja kerjanya.
“Terimakasih Pak…!” jawabku singkat.
“Tunggu sebentar ya Pak…!, saya sedang terima telpon dulu” aku hanya mengangguk saja kearahnya. Diapun kembali meneruskan menelpon kolega, keluarga atau entah siapa. Aku tidak ingin menguping pembicaraannya tersebut.
            Sambil menungguinya menelpon, aku kembali mengamati sekeliling ruangan pemilik bengkel ini. Ternyata tidak hanya perseorangan saja yang menjadi para pelanggannya, melainkan juga dari beberapa perusahaan besar dan juga beberapa intansi pemerintahan. Hal ini terlihat dari beberapa tag memo yang ditempelkan pada CPU,monitor, maupun perangkat lainnya. Yang menuliskan identitas pemiliknya, tanggal penyerahannya dan juga tanggal penyelesaiannya berikut dengan segala permasalahan kerusakannya. Semuanya tertulis secara  lengkap dalam tag memo tersebut.
“Maaf, sudah lama menunggu…!” sapa pemilik bengkel dengan senyum yang mengembang.
“Ehmmm, tidak apa-apa Pak…!” jawabku, dengan sedikit kaget.
“Begini Pak, saya mau minta tolong bapak, untuk membenahi semua barang-barang ini keruangan yang ada di depan sana…!,” dia menghentikan ucapannya sejenak. Kemudian dia bangkit sambil menunjukkan ruangan yang berada persis dibagian depan bengkel ini. Rupanya ruangan depan ini baru saja direnovasi dengan dipasang beberapa partisi untuk meletakkan komputer-komputer yang sudah selesai diperbaiki.
“Bapak bisa lihat kan..?, disana ada rak-rak besi yang masih kosong. Bapak tinggal meletakkan semua barang-barang ini disana ya..!” dia kembali menunjukkan beberpa perangkat computer yang masih bertumpuk diruangannya.
“Bagaimana, mudahkan Pak…?” tanyanya, sambil menatap tajam kearahku.
“Iya Pak..!”  jawabku, sambil bangkit dari tempat dudukku, menghampiri tumpukan komputer-komputer yang ditunjukkan tadi.
“Oke, kalau begitu…!, yang disebelah sini dulu ya…!” dia menunjuk kearah tumpukkan beberapa CPU yang sudah mulai berdebu. Aku hanya mengikutinya saja.
“Tolong hat-hati ya Pak…!”  pintanya, sambil terus mengawasiku yang sudah mulai memilah-milah bagian mana yang akan aku mulai pindahkan.
“Saya akan berhati-hati sekali Pak…!” jawabku, sambil menoleh kearahnya. 
“Bagus…!, saya akan mengawasi bapak dari sini…!” diapun segera berlalu dari hadapanku, dan kembali ke meja kerjanya.
            Akupun kembali disibukkan dengan barang-barang yang menumpuk diseluruh ruangan ini. Satu persatu aku mulai memindahkannya. Sengaja aku menyusunnya berdasarkan tanggal penerimaannya saat barang-barang ini di bawa kesini, hal ini aku maksudkan agar lebih memudahkan pada saat mencarinya.  Yang aku lakukan ini hanyalah inisiatifku saja, bapak pemilik bengkel tidak menyuruhnya demikian, yang terpenting baginya adalah semua barang-barang ini berpindah tempat dari ruangannya. Hampir dua jam sudah, aku mengerjakan semuanya dengan penuh kesungguhanku. Aku tidak ingin mengecewakan bapak si pemilik bengkel ini yang sudah berbaik hati memberiku pekerjaan.  Begitu dirasa semuanya sudah selesai, akupun segera kembali keruangan bapak sipemilik bengkel yang masih tengah asyik meneruskan pekerjaannya.
“Permisi Pak…!, semuanya sudah selesai Pak…!” suaraku aku buat sepelan mungkin, karena aku takut menganggunya.
“Oh…? Oke..!, saya akan lihat sebentar ya Pak…!” dia bangkit dari tempat duduknya, dan beranjak menuju ruang depan untuk melihat hasil kerjaku. Aku hanya mengikutinya saja dari belakang. Saat dia mulai memeriksa hasil kerjaku. Agak sedikit deg-degan juga sebenarnya, aku khawatir jika hasil kerjaku ini akan menegcewakannya.
“Bagus Pak…! hanya saja, kenapa harus terpisah-pisah seperti ini Pak..?” tanyanya, sambil menunjuk ke beberapa rak yang memang isinya sebagian ada yang penuh dan ada yang sedikit, bahkan kosong.
“Maaf Pak..!, sengaja saya pisah-pisahkan berdasarkan tanggal penyerahannya Pak. Maksud saya, supaya lebih memudahkan untuk mencarinya, pada saat pemiliknya hendak mengambilnya Pak. Mohon maaf Pak…!, jika menurut bapak ini salah, saya akan segera memperbaikinya Pak…! Aku sedikit takut juga, jika ternyata pekerjaanku ini tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
“Oh begitu…? Wah, hebat juga bapak ini..! Darimana bapak tahu jika yang bapak maksudkan ini benar adalah tanggal penyerahannya..?” tanyanya lagi, seolah ingin mengetesku.
“Oh, maaf Pak…!, saya menyusun berdasarkan tanggal penyerahannya ini, dengan melihat tag memo ini” jawabku, sambil menunjukkan salah satu tag memo yang digantungkan pada bagian CPU.
“Oke, memangnya bapak mengerti dengan semua tulisan yang ada pada tag memo ini…?” sepertinya pertanyaan bapak sipemilik bengkel ini benar-benar ingin mengujiku.
“Hanya sedikit saja Pak..!” aku mulai menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaannya seputar isi tag memo tersebut. Mulai dari nama pemilik barang yang direparasi, tanggal penyerahan dan selesai perbaikan, termasuk semua keterangan yang menyangkut permaslahan kerusakannya, hingga nama penerima serta nama teknisi yang memperbaikinya.
“Bagus…!, saya sangat puas dengan kerja bapak hari ini” dia tersenyum lega, dari wajahnya dapat aku lihat guratan rasa puas itu.
“Terimakasih Pak…!” akupun merasa sangat lega sekali atas hasil kerjaku ini.
“Oh ya, besok tolong bapak datang lagi kesini lebih pagi ya…! Dan tolong dengan pakaian yang bersih dan rapi  tentunya…!” dia tersenyum kearahku, sambil membimbingku mengajak masuk keruang kerjanya kembali.
“Baik pak, saya sangat berterimakasih sekali Pak…! Memangnya masih banyak pekerjaan Pak…?” tanyaku dengan sedikit hati-hati.
“Lihat saja besok Pak…! Dan ini, upah kerja bapak hari ini..!” jawabnya, sambil menyerahkan sebuah amplop saat menyalamiku.    
“Terimakasih Pak…!, saya permisi pulang…!” kumasukkan amplop yang diberikannya kedalam saku celanaku.
“Sama-sama Pak…!, jangan lupa besok kembali datang ya Pak…!” dia mengantarku hingga keluar ruangannya.
“Baik Pak…! Permisi…!” akupun segera berlalu dari hadapannya dengan perasaan bahagia sekali.
            Aku ingin sekali buru-buru berbagi kebahagian ini bersama semua buah hatiku. Siang-siang begini biasanya mereka masih asyik belajar bersama anak-anak para pemulung lainnya disebuah padepokan yang dibuat oleh salah satu LSM yang perduli terhadap pendidikan anak-anak jalanan. Aku sangat bersyukur sekali, dalam kondisiku yang sesulit ini, anak-anakku masih dapat terus belajar dan bersekolah. Meski ditempat sekolah yang alakadarnya, bagiku ini sudah lebih dari cukup. Paling tidak, aku bisa menitipkan mereka untuk smentara waktu, disaat aku tengah mengais rezeki sambil berusaha terus mencari pekerjaan yang lebih baik. Atas bantuan mereka pula, kini aku memiliki tempat tinggal berupa petakan-petakan kecil yang dibuat dari triplek maupun kayu-kayu bekas. Meski letaknya saling berhimpitan, tapi lumayan dapat digunakan untuk kami berteduh, dan sedikit terlindung dari terik matahari maupun derasnya hujan. Semua orang-orang yang tinggal disekitar sini kebanyakan adalah para pemulung dan dan juga para gelandangan. Samasekali aku tidak pernah menduganya, jika kini aku harus hidup berdampingan bersama mereka. Berbagi rezeki, saling membantu dan hidup berdampingan berbaur bersama disini. Di sebuah lahan kosong diantara berdirinya gedung-gedung para pencakar langit tempat kami hidup. Tanah kosong ini, mungkin sewaktu-waktu akan segera dibangun gedung-gedung serupa oleh pemiliknya. Kami harus siap jika sewaktu-waktu rumah-rumah petak kami ini akan segera digusur dan diratakan dengan tanah. Jika ini terjadi, kemana gerangan kami semua akan tinggal…?. Jika mengingatnya, aku semakin miris. Jika aku dan juga anak-anakku harus kembali  terlunta-lunta  seperti dulu tanpa arah. Terus bagaimana dengan sekolah anak-anakku…?. Untuk yang terakhir ini, tidak hanya semakin membuat hatiku ciut, akan tetapi semakin membuatku putus asa. Tapi biarlah, aku yakin Tuhan sudah mengatur segalanya bagi kehidupan makhluknya.
Alhamdulillah,hari ini aku dapat rezeki sedikit berlebih. Tidak ada salahnya, jika aku ingin membelikan makan siang yang sedikit istimewa untuk anak-anakku. Nasi dan pecel lele kesukaan si bungsu, serta ayam bakar kesukaannya si sulung. Selain itu, aku juga ingin sekali membelikannya buku gambar serta perlengkapan sekolah lainnya. Aku rasa uang yang diberikan bapak sipemilik bengkel ini lebih dari cukup, sehingga aku dapat membelanjakannya untuk keperluan hidup kami yang lainnya. Usai membeli semua keperluan tadi, aku langsung menuju padepokan tempat kedua anak-anakku belajar. Mungkin sebentar lagi pelajaran terakhir akan segera usai, dan akan langsung dibubarkan oleh gurunya. Benar saja, belum juga langkah kakiku menapaki halaman depan padepokan ini. Aku sudah dikagetkan oleh teriakan semua anak-anak yang keluar dari pintu padepokan sambil berlarian saling berkejaran. Mungkin diantara mereka ini adalah anak-anakku, yang langsung menubrukku dengan tawa riangnya.
“Kok ayah sudah pulang sih…?” Tanya sibungsu, sambil menglendot dilenganku.
“Iya sayang..!, sengaja ayah ingin jemput kalian disini…!” jawabku, sambil membelai rambutnya.
“Wah, ayah bawa apa nih…?” Tanya si sulung, sambil ikut memegangi bungkusan ditanganku.
“Iya sayang…!, ayah belikan sesuatu buat kamu nih…! Tapi, dibukanya nanti saja dirumah ya…!” aku membimbing mereka berdua menuju rumah petak kami yang letaknya hanya beberapa meter saja dari padepokan ini.
“Asyiiiiiiiiiiiiiiiiik….!”Mereka berdua bersorak sangat gembira sekali sepertinya, tidak henti-hentinya mereka terus-terusan saling bercanda sepanjang perjalanan menuju rumah petak kami.
“Wah, pasti ayah beliin buku bacaan bekas untuk abang  ya…?” Tanya Si sulung, sambil meraba-raba isi bungkusan plastik yang tadi aku bawa.
“Kalau dari baunya sih, sepertinya ayah beliin Mas pecel lele deh…!” Si bungsupun ikut-ikutan mengacung-acungkan bungkusan plastik yang ada ditangannya, sambil sesekali mengendusnya.
“Kalian ini, paling jago deh menebak-nebak..!” Aku hanya dapat tersenyum saja atas ulah mereka berdua ini.
            Kebahgaiaan kedua anak-anakku ini terpancar tidak hanya pada saat mereka berdua melahap semua makanan kesukaannya ini, melainkan pada saat mereka membuka perlengkapan sekolah yang tadi aku belikan untuk mereka. Aku benar-benar baru menemukan kembali keceriaan keduanya. Aku begitu sangat terharu sekali menyaksikan kebahagiaan kedua buah hatiku ini. Bagiku, tidak ada kebahagiaan lain selain ketika melihat kedua buah hatiku tumbuh sehat dan bahagia selalu berada dalam pelukanku. Menurut guru-gurunya yang mengajar dipadepokan, anak-anakku ini termasuk anak-anak yang paling cerdas diantara anak-anak yang lainnya. Maklum saja si sulung sebelumnya sudah duduk di kelas 4 sekolah dasar terpadu yang saat itu juga dialah yang menjadi juara kelasnya. Sementara sibungsu sudah duduk dikelas 2 dengan segudang prestasi. Mulai dari melukis, mendongeng dalam bahasa Inggris, hingga kegiatan-kegiatan lainnya. Bahkan guru-gurunya ini sering mengajaknya mengikuti beberapa perlombaan yang diadakan di beberapa tempat. Meski tidak selalu menjadi juara, paling tidak prestasinya ini sedikit lumayan diperhitungkan oleh para pesaingnya. Melalui mereka pula, aku dibantu menyerahkan beberapa hasil karyaku kebeberapa penerbit.  Diantaranya ada beberapa novel dan juga kumpulan cerpen. Sebenarnya keinginanku tidaklah begitu muluk. Jangankan untuk dapat diterbitkan dan menjadi best seller. Bisa di print out saja sudah lebih dari cukup. Dulu disela-sela waktu  luang,  aku selalu menyempatkan diri menekuni hobby menulisku. Meski masih amatiran, paling tidak aku dapat menuangkan segala daya imajinasiku kedalam cerita-cerita yang aku buat ini. Semoga saja ini merupakan awal yang baik , ketika secara tidak sengaja aku meminjam laptop salah satu guru padepokan itu. Niatku hanya ingin mengecek USB tempat menyimpan semua file-file karanganku disitu, karena sudah terlalu lama tidak aku pakai, aku hanya khawatir saja, jika semua data hasil jerih payahku ini akan musnah, jika USB ini benar-benar sudah rusak. Tapi untungnya tidak, semua data-data itu masih tersimpan dengan baik. Hingga pada akhirnya salah satu dari guru-guru itu, melihatnya adan langsung menawariku untuk membawa hasil karya-karyaku ini ke salah satu perusahaan penerbitan. Awalnya aku menolaknya, karena aku merasa belum yakin dengan kualitas hasil karya-karyaku ini. Akan tetapi dengan segala usaha mereka untuk meyakinkanku, pada akhirnya aku hanya bisa meneyerah saja.  Aku sangat bersyukur sekali atas semua ini. Tidak hanya itu saja, kebaikan-kebaikan mereka ini, yang lebih utama adalah ketika anak-anakku masih bisa terus bersekolah bersama mereka. Karena bagiku hal ini adalah segalanya dari apapun.
“Ayah….?, kenapa ayah diam saja…?” suara si sulung ini tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Ehmmmmm, enggak apa-apa sayang…!, Ayah hanya senang saja, melihat kamu makan dengan lahapnya…!” jawabku, sambil membenahi beberapa butir nasi yang berserakan diatas tikar pandan.
“Enak banget Yah, pecel lelenya…!, Tapi sambalnya sedikit pedas Yah…!” celoteh si bungsu, sambil terus menyuapkan nasi kedalam  mulutnya dengan sedikit kepedasan.
“Pelan-pelan saja makannya…!, nanti kamu tersedak…!” aku menyodorkan gelas plastik yang berisi air putih untuk diminumnya karena kepedasan.
“Kok, Ayah enggak ikut makan sih…? Kan, masih ada satu bungkus lagi Yah…?” Tanya si sulung sambil menunjuk kearah nasi bungkus yang tergeletak diatas tikar.
“Ayah masih kenyang sayang…!, biar nanti saja, setelah ayah selesai mencuci pakaian …!” Aku mulai mengumpulkan beberapa pakaian kotor yang hendak aku cuci, dan memasukkannya kedalam ember plastik besar.
“Ayah, nanti Abang ikut bantuin nyuci bajunya ya…!” seru si sulung, sambil terus asyik menyantap makanannya.
“Mas juga, ikutan bantu Yah…!,Soalnya, Mas juga sudah bisa kok, mencuci sendiri..!” si bungsupun tidak mau kalah dengan kakaknya.
“Iya, selesaikan saja dulu makannya…!” jawabku, aku benar-benar bangga dengan niat baik anak-anakku ini.   
“Selesai mencuci nanti, kita jalan-jalan ke pasar kaget yuk…? Ajak sibungsu, sambil memebreskan sisa-sisa makannya tadi.
“Iya Yah…!, abang pengen deh, naik kereta-keretaan atau komedi putar…!” teriak si sulung penuh antusias.
“Mas juga dong Yah…! Mas juga pingin deh, naik mobil-mobilan elektrik itu…!” ulah mereka semakin seru saling bersahutan.
“Iya sayang…!, sekarang lebih baik bereskan saja dulu bekas makannya..!” Aku membiarkan mereka melakukan segalanya sendiri. hanya untuk mendidiknya belajar mandiri dan bertanggung jawab.
 “Siap Bos….!” Seru mereka secara bersamaan, mereka berdua bersorak-sorak penuh keriangan. aku hanya dapat tersenyum bangga atas ulah mereka ini. Aku belum pernah melihat mereka seceria ini, disaat-saat masa sulit ini.
            Hari yang cerah, mewarnai semua kebahagiaanku saat ini. Tidak henti-hentinya aku terus mengucap syukur kepada Tuhan atas segala karuniaNYA. Karena hari ini, aku dapat mengawali hari-hari penuh pengharapan dalam menapaki kehidupanku bersama kedua anak-anakku. Tanpa kehadiran mereka berdua, apa jadinya aku. Aku tidaklah meungkin bisa sekuat ini, menghadapi segala sesuatu dimasa-masa sulitku. Ketika segalanya mulai berubah secara perlahan, semuanya karena dukungan yang luar biasa dari kedua anakku ini. Mereka berdua ini adalah asset masa depanku. Semoga saja, aku dapat mengantarkannya menjadi anak-anak yang sholeh, yang berbakti kepada orang tuanya dan juga bangsa serta agamanya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar