Kamis, 31 Maret 2011

Dan, ketika cinta itu datang...


Aku tidak pernah menduganya…
By : Ganta vaksie

Hari masih gelap, meski pagi sudah menjelang. Semburat jingga di ufuk timur masih samar-samar terlihat, selain karena tertutupi oleh siluet gunung yang berdiri kokoh diantara lembah-lembah dan juga beberapa perkampungan dimana kebanyakan  penduduk yang bermukim disini adalah para petani, ataupun kuli-kuli yang bekerja di perkebunan teh. Kabut yang berarak juga turut menutupi cahaya sang mentari yang hendak keluar dari peraduannya dengan pancaran sinarnya yang indah. Aku ikut berbaur bersama penduduk sekitar kaki gunung yang hendak bekerja di sawah dan juga ladang mereka. Tidak hanya untuk sekedar berolahraga ataupun jalan-jalan pagi saja sebenarnya, akan tetapi aku lebih ingin mengenang kembali kenangan indah masa kecilku di sini, di perkampungan ini. Jalan-jalan desa yang di penuhi deretan pepohonan cemara dan juga bunga-bunga yang indah, jika di pagi hari akan terasa harumnya embun di rerumputan dan juga aroma daun cemara serta pohon kayu putih yang daunnya rimbun menjuntai hampir menyentuh tanah.

“Wilujeung enjing Sep...!” Sesekali aku saling bertegur sapa dengan penduduk desa yang berpapasan denganku.

“Wilujeung enjing sadayana, punten bade ngiring ngalangkung nya..?” Dengan sedikit membungkukkan badan, aku melintasi gerombolan ibu-ibu pemetik teh yang tengah berjalan menuju perkebunan.  

“Sok mangga atuh kasep, mayunan bae…!” jawab mereka secara bersamaan, aku hanya bisa tersenyum saja kearah mereka sambil segera berlalu dari hadapan mereka.

            Bulir-bulir keringat sudah mulai menetes diantara kening dan juga disekitar leher, sesekali aku sapukan handuk kecil yang melingkar dileherku. Meski udara masih terasa dingin, ternyata naik turun pematang sawah maupun ladang sayuran ini, cukup menguras energiku. Jalan di pagi hari, selain sangat menyehatkan tubuh, juga aku dapat kembali bernostalgia hampir di semua tempat yang aku lalui. Mulai dari sepanjang pematang sawah yang menghijau hingga ujung perkampungan yang dipisahkan oleh aliran sungai yang dulu sering dijadikan pusat ritual acara ngarak tumpeng untuk menyambut musim penghujan sebagai awal musim tanam. Nasi tumpeng yang masyarakat buat sangatlah beraneka macam, ada yang terbuat dari nasi kuning biasa, nasi wuduk, nasi liwet atau bahkan nasi kabuli dengan ikan asin gabus yang di goreng kering, serta aneka pepes-pepesan. Tradisi saling hantar makanan ini paling aku tunggu-tunggu sekali, selain aku dapat menikmati semua makanan hantaran yang dikirimkan oleh para tetangga dekat, aku juga dapat membaginya dengan teman-teman sepermainanku yang rata-rata hidupnya sangatlah pas-pasan. Karena kebanyakan dari orang tua mereka adalah para kuli di perkebunan dan ladang milik Ayahku.
Tidak hanya sungai desa yang menjadi salah satu kenangan masa kecilku, akan tetapi alun-alun kampung juga adalah salah satunya. Dulu alun-alun kampung merupakan tempat dimana dulu sering diadakan pertunjukan-pertunjukan saat menyambut pesta panen. Pesta  Panen ini merupakan pestanya semua masyarakat desa saat menyambut musim panen tiba. Biasanya pesta panen ini dihibur dengan aneka kesenian rakyat seperti reog, calung, kiliningan, wayang golek, topeng banjet, sisingaan hingga hiburan yang bersifat keagamaan. Pada pesta panen ini semua masyarakat desa berbaur bersama, turut bersuka cita menikmati kemeriahan pesta yang digelar hingga pagi menjelang ini.  
Diantara sekian banyak tempat-tempat yang menjadi kenangan masa kecilku, ada satu tempat yang paling berkesan bagiku, yaitu irigasi yang letaknya lumayan jauh dari rumahku. Irigasi ini tempat dulu aku dan juga teman-teman sepermainan belajar berenang dan menghabiskan waktu bersama untuk mencari ikan, belut, kerang kijing dan memandikan kerbau. Sepertinya  masih saja terngiang teriakan-teriakan kami saat itu, riang gembira bermain bersama. Tapi alangkah disayangkan, semua keceriaan itu akan sirna dalam sekejap, manakala orang-orang suruhan Ayah memergoki aku ikut bermain bersama anak-anak kampung ini. Sudah dapat dipastikan jika aku akan diseret paksa oleh mereka dan akan mendapatkan hukuman berat dari Ayah dengan dikurung didalam kamarku. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu aku tidak boleh keluar rumah kecuali hanya untuk bersekolah saja ataupun les musik dan menggambar. Meskipun menurut Ayah hukuman yang diberikan ini hanya untuk melindungiku dari bahaya dan juga pengaruh anak-anak kampung, bagiku justru malah sebaliknya. Sepertinya Ayah benar-benar telah merampas kemerdekaanku sebagai seorang anak, meskipun hanya untuk sekedar ingin memiliki teman bermain dan menikmati semua permainan-permainan masa kecilku ini.
            Jika mengingat kebengisan Ayah tentang hal ini, terutama sikapnya terhadap orang-orang kampung sekitar yang telah mengabdikan dirinya dengan bekerja di perkebunan maupun di ladang-ladang milik keluarga Ayahku. Tapi sudah tidak ada gunanya lagi untuk disesali, toh sekarang Ayah sudah pergi untuk selama-lamanya sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak hanya sepeninggal Ayahku, ketika segalanya telah berubah. Akan tetapi beberapa tahun sebelum Ayah meninggal, ketika Ayah mulai berubah sikap seratus delapan puluh derajat. Aku dan seluruh keluarga besarku merasa sangat bersyukur dengan perubahan Ayah ini. Betapa tidak,  Ayah adalah seorang manusia yang benar-benar hanya percaya pada dirinya sendiri saja, tidak pernah mau menerima pendapat maupun nasihat dari orang lain sekalipun itu dari Ibuku dan juga anak-anaknya. Tidak heran jika sikap Ayah ini sering semena-mena terhadap siapapun, termasuk terhadapku dan juga anak-anaknya yang lain.
            Sejak SMP aku diungsikan ke Jakarta, hanya sesekali saja Ibu maupun Ayah menjengukku, atau sebaliknya aku yang mengunjungi mereka. Secara materi aku dan juga kedua kakak-kakakku sangatlah berkecukupan meski kami tinggal di kota yang berbeda. A Firman kakak sulungku yang biasa di panggil aa ini, sejak lulus SD aa sudah diungsikan di sebuah Pondok Pesantren yang ada di daerah Jawa Timur hingga aa menyelesaikan sarjananya di kota Malang. Bahkan hingga aa meneruskan studinya ke luar negeri. Sementara kakakku yang nomor dua, dia seorang perempuan namanya Teh Diah yang biasa aku panggil teteh, nasib teteh masih lebih baik jika dibandingkan aku dan aa. Teteh masih dapat menikmati kebersamaan bersama Ayah dan juga ibu dalam waktu yang lumayan lama karena  baru selepas SMA ketika teteh meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolahnya di kota Bandung. Kami bertiga sangat jarang sekali di pertemukan karena jadwal belajar kami sangatlah padat sekali, nyaris tidak ada waktu untuk saling mengunjungi, sementara jadwal liburan kamipun sangatlah berbeda, paling hanya ketika hari Lebaran saja kami semua dapat berkumpul di rumah besar ini. Biasanya kami bertiga sering memanfaatkan waktu bersama kami dengan berbagai macam kegiatan yang sangat menyenangkan. Terkadang kami bertiga duduk mengobrol selama berjam-jam hanya untuk saling bertukar cerita satu sama lain. Kadang-kadang Ibu juga suka ikut nimbrung bersama kami dengan membawakan cemilan-cemilan maupun wedang jahe panas. Tanpa sepengetahuan kami semua, secara diam-diam, ternyata Ayah sering memperhatikan kebersamaan ini dari kejauhan. Entah apa yang ada dalam fikiran Ayah saat itu, yang kami tahu ternyata Ayah sangat menyayangi keluarganya yang tidak pernah dia tunjukkan secara langsung. Sikap kerasnya selama ini, hanya untuk menutupi kelemahannya saja. Menurut cerita dari Ibu, Ayah sering duduk berlama-lama dan mengurung diri di kamar, ketika harus melepas anak-anaknya satu persatu meninggalkannya. Bahkan seringkali Ayah menumpahkan tangisnya di pelukan Ibu hanya untuk meratapi kepergianku anak bungsunya. Tidak hanya itu, Ayah juga tidak pernah mengungkapkan rasa bahagia dan juga kebanggaannya ketika menyaksikan keberhasilan anak-anaknya dalam menempuh studinya meskipun berada jauh darinya. Hanya Ibulah saksi semua ini. Mungkin tidak hanya aku saja yang dapat merasakan kedekatanku bersama Ayah saat menjelang kepergiannya. Kami semua banyak menghabiskan waktu bersama Ayah dan juga Ibu, hanya untuk menebus saat-saat indah yang pernah terlewatkan diantara kami. Sungguh suatu kebahagiaan yang tiada terhingga bagi semua keluargaku kala itu. Namun sayang, tidaklah begitu lama waktu kebersamaan ini harus kami semua nikmati. Karena ternyata Tuhan berkehendak lain dengan memanggil Ayah disaat kami tengah menikmati keberadaannya di tengah-tengah kami. Hanya tangis haru yang menyertai kepergian Ayah. Sebenarnya masih banyak hal lain yang ingin aku persembahakan untuk Ayah di usia senjanya. Namun kini aku hanya dapat mendo’akannya saja pada setiap kesempatanku saat menghadap sang Kholik.            
Seru dan begitu mengesankan saat dulu kami menghabiskan waktu bersama ini. Betapa kami bertiga saling mengasihi satu sama lain meskipun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ada banyak cerita yang kami obrolkan disini, tidak hanya cerita-cerita konyol dan juga lucu yang selalu membuatku antusias mendengarkan ceritanya aa dan juga teteh. Yang paling menarik bagiku, tidak hanya cerita seputar teman-teman dekatnya mereka saja, melainkan cerita-cerita lainnya yang super seru. Terutama cerita-cerita soal percintaannya aa dan juga teteh. Sunguh sesuatu hal yang baru bagiku yang tengah menginjak usia puber. Biasanya aku sangat serius sekali menyimak cerita-cerita aa dan teteh ini. Ceritanya saat itu aa tengah jatuh cinta pada seorang gadis asal Malang, dia ini merupakan adik kelasnya aa di kampus, namun berbeda jurusan. Aa sangat bersemangat sekali ketika bercerita seputar pendekatannya terhadap Maya sang gadis idamannya ini, hingga mereka berdua resmi berpacaran bahkan kini sudah menjadi istri dan juga ibu dari kedua buah hati mereka Disa dan Dika. Sekarang ini Aa harus memboyong semua keluarganya untuk tinggal bersama Ibu sepeninggal Ayah.
Sementara teteh sendiri masih saja sedikit malu-malu ketika giliran dia yang harus mengisahkan perjalanan cintanya dengan Kang Darma seorang pemuda kampung yang aktif disemua kegiatan pemuda Desa. Kang Darma ini hanya seorang petani biasa yang mengurusi beberapa petak sawah dan sebidang tanah yang dijadikan tempat pembibitan aneka ragam tanaman dan beberapa ternak berupa unggas, kambing serta kolam ikan peninggalan almarhum bapakanya. Kini Kang Darma hanya tinggal berdua saja dengan Ibunya yang sehari-hari hanya mengurusinya, memasak, mencuci terkadang juga membantunya di sawah maupun di ladang milik mereka. Meskipun kisah cinta antara Kang Darma dengan Teh Diah mendapat tentangan dari Ayah, namun pada akhirnya cinta mereka berdua dapat dipersatukan sepeninggal Ayah. Aku masih ingat betul, ketika Kang Darma dan Teh Diah memohon restu di hadapan pusara Ayah dengan ditemani Ibu dan juga Ibunya Kang Darma dimana suasana saat itu diwarnai oleh rasa haru dan isak tangis diantara mereka. Tidak lama berselang pesta pernikahan mereka segera dilangsungkan dengan segala kesederhanaan. Yang membuatku bangga terhadap Kang Darma adalah keteguhan hatinya untuk mempersunting Teh Diah. Kang Darma benar-benar mencintai Teh Diah dengan tulus tanpa pamrih apapun, hal ini dia buktikan ketika mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri. Hanya selang beberapa hari usai pesta pernikahannya, Kang Darmapun segera memboyong istrinya ke rumahnya. Kini mereka hidup berbahagia bersama Ibunya dan juga Dadi anaknya yang berumur sekitar dua tahunan. Aku hanya dapat tersenyum lega menyaksikan kebahagiaan saudara-saudaraku ini.
Tidak terasa sudah beberapa saat lamanya aku duduk diatas bebatuan yang ada di pinggiran sungai yang airnya sedikit surut di musim kemarau seperti sekarang ini. Jika tidak dikagetkan oleh suara seseorang yang memanggil nama kecilku, seketika aku menoleh kearah datangnya suara tadi. Dikejauhan ada seseorang yang entah siapa, dia sedang berjalan menghampiriku.

“Kamu Rayi kan…?” tanyanya, sambil menyodorkan tangan untuk mengajakku bersalaman saat dia sudah berada di dekatku.

“Iya betul, maaf ini siapa ya...?” aku balik bertanya, sementara dia tidak langsung menjawabnya melainkan hanya tertawa terbahak saja.

“Maaf, saya benar-benar lupa nih!” aku berusaha mengingat-ngingat kembali sosok jangkung yang kini ada di hadapanku.

“Oke, aku kasih klu deh Yi..!, mungkin secara perlahan kamu dapat mengingat siapa aku ini” Dia mengajakku sama-sama duduk kembali di bebatuan tempat aku duduk-duduk tadi.

“Ehemmm...oke,  apa klu nya..?” Aku perhatikan lekat-lekat wajah tampannya, alis tebal hidung mancung dengan kulit sawo matangnya. Sama sekali sedikitpun tidak ada guratan di wajahnya yang dapat mengingatkanku terhadapnya.

“Kamu masih ingat kan Yi..?, dulu ketika kita masih kecil, sering pulang ngaji bersama sambil membawa colen..!,” dia menghentikan ceritanya sejenak, sambil membetulkan letak kacamata hitamnya yang disangkutkan diatas rambutnya yang ikal. Colen adalah sejenis obor yang dibuat dari sebatang bambu berukuran sekitar setengah meter yang diisi minyak tanah dan disusupkan sumbu yang dibakar. Colen biasa digunakan sebagai senter saat kami keluar rumah di saat malam hari. Maklum saja, ketika itu listrik belum masuk ke Desaku. 

“Suatu malam, kita pernah kehujanan saat pulang mengaji. Saat itu kita hendak mencari tempat untuk berteduh dan masuk ke sebuah rumah kosong yang ada di sisi jalan di ujung kampung kita ini. Yang ternyata itu adalah rumahnya Bing Imran, orang aneh yang mengaku-ngaku dirinya bekas pejuang pada zaman penjajahan dulu. Saat itu, kita berdua sama-sama ketakutan, ketika dia menyekap kita berdua yang sebenarnya ketika itu dia hanya ingin melindungi kita dari sambaran petir dan derasnya air hujan dengan memberikan kita teh panas dan juga singkong rebus sesaat sebelum orang-orang kampung menggerebek gubuknya, karena mereka mengira dia telah menyekap kita berdua. Bagaimana…?, kamu masih belum ingat juga dengan peristiwa itu Yi…?” tanyanya sambil memandang wajahku dengan begitu lekat, seolah ingin mencari jawaban dalam sorot kedua mataku.

“Ya ampun, kamu ini Panji kan...?” dengan sepontan aku memeluknya, sudah begitu lama kami saling berpisah. Panji ini adalah salah satu sahabat kecilku dulu, anak seorang dokter Puskesmas yang sering berpindah-pindah rumah sesuai dengan tempat tugas Bapaknya.

“Syukurlah, jika kamu sudah mengingatnya kembali” dia balas memelukku dengan eratnya.

“Apa kabar Ji…? Kemana saja kamu selama ini..?, kok kamu tahu aku ada di sini..?” segudang pertanyaanku ini ingin segera mendapatkan jawaban darinya.

“Aku baik-baik saja Yi…!, Sebenarnya tadi memang sengaja aku mampir ke rumahmu, menurut Ibumu, kamu tengah jalan-jalan pagi di sekitar sini, ya sudah langsung saja aku susul kesini…” jawabnya, sambil tidak henti-hentinya meninjukan tangannya dengan gemas diatas bahuku secara perlahan.

“Sudah lama juga ya Ji, kita tidak saling bertemu dan berkirim kabar, keberadaanmu  seperti ditelan bumi saja..” Aku kembali menyeka keringat di pelipisku dengan handuk kecil ini.
       
“Mungkin sekitar sepuluh tahunan Yi.., Tidak lama sejak kepindahanmu ke Jakarta, aku juga ikut pindah bersama keluargaku ke Lampung, karena papaku dipindah tugasakan ke sana. Sebenarnya tidak hanya di Lampung saja papa ditugaskan, akan tetapi pernah di beberapa kota lainnya, hingga pada akhirnya kami semua kembali menetap di Jakarta, Rencananya papa dan mamaku akan menghabiskan masa tuanya disini Yi. Kami sekeluarga sudah membeli rumah tempat aku  tinggal dulu yang di dekat Puskesmas itu. Mungkin aku hanya sesekali saja berkunjung kesini, karena pekerjaanku memang di Jakarta. Kamu sendiri apa kabar Yi…?” Dia balik bertanya kepadaku setelah menjelaskan kisahnya tadi.

“Seperti kamu tahu Ji, aku menyelesaikan sekolahku semuanya di Jakarta. Hanya saja secara kebetulan aku berkesempatan meneruskan S2-ku di Ausie…, beberapa tahun terakhir ini aku sering bolak-balik kesini Ji, Sejak Ayahku mulai sakit-sakitan hingga akhirnya Ayah wafat, hampir setiap weekend aku menyempatkan diri untuk menjenguk ibuku, apalagi sekarang ini rumah semakin rame dengan kehadiran anak-anaknya aa dan juga teteh. Oh ya, sayang banget ya…? kita tidak pernah di pertemukan selama kita di Jakarta Ji…!!” kutepuk bahunya yang kekar, mungkin saja selama tinggal di Jakarta Panji sangat rajin latihan beban di gym.

“Wah, aku turut berduka cita Yi, atas wafatnya Ayahmu...!” dia membalas menggandeng bahuku yang duduk berhimpitan dengannya.

“Thanks Ji…, BTW kamu nginep disini kan…?” tanyaku sambil bangkit dari dudukku dan mengajaknya segera berlalu dari tempat ini karena hari  sudah semakin panas.

“Awalnya sih, hanya pulang balik saja Yi..!, tapi setelah aku fikir-fikir, seru juga jika aku menginap di rumahmu saja, banyak hal yang ingin aku obrolkan bareng kamu Yi…” sepertinya dia menunggu persetujuanku dengan menengadahkan wajahnya ke arahku.

“Wah good idea tuh…!, Ya suda ayo kita pulang Ji…!” ajakku, sambil mendorongnya menaiki pematang sawah, dia hanya ketawa-ketawa saja seolah mengingatkan masa kecil kami dulu.
            Aku benar-benar sudah tidak menegenalinya lagi, Banyak sekali yang berubah dari Panji, tidak hanya perubahan fisiknya saja yang membuatku berdecak kagum, akan tetapi mengenai banyak hal, kariernya yang brilliant sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit terbesar di kota Jakarta juga dengan sikap dan tingkah polahnya yang santun begitu menyenangkan bagi semua orang yang berada di dekatnya termasuk dengan keluaragaku. Seperti malam ini, ketika kami semua tengah menikmati makan malam bersama, aneka hidangan sengaja Ibu buat untuk menyambut kedatanganku di rumah besar ini, terutama dengan hadirnya Panji yang benar-benar mengejutkan semuanya, karena sudah sejak dulu Panji sangat dekat dengan keluargaku. Dulu Ayahku hanya mengijinkanku berteman  dengan Panji saja, tidak dengan anak-anak kampung lainnya, mungkin karena Panji merupakan anak seorang dokter yang dekat dengan keluargaku, sementara teman-temanku yang lainnya hanyalah anak kampung biasa.

“Ayo sayang makan yang banyak! sengaja Tante buatkan masakan istimewa buat kamu dan juga Rayi…!” Ibu selalu saja bersikap ramah kepada siapapun, apalagi pada orang-orang yang dikenalnya dengan baik termasuk Panji.

“Terimakasih Tante, pastinya akan aku habiskan nih..!, maklum sudah lama sekali tidak merasakan lezatnya masakan Tante..!” Canda Panji yang membuat semua yang ada disini ikut tertawa.

“Enak saja di habiskan…!, masakan ini khusus di buat hanya untuk aku tahu…!, kamu sisanya saja Ji…!” Kuhentikan tangannya Panji yang tengah memotong ayam panggang buatan Ibu.

“Pelit ih…! Tante ada orang pelit nih..!” teriak Panji sambil tetap mempertahankan piring ayam panggang yang berada di hadapnnya.

“Kalian ini enggak tahu malu ya…! Sudah bangkotan begini, masih saja kayak anak kecil, malu kan sama Dika dan Diza…!” Mbak Maya istrinya aa melerai kami berdua, sementara Dika dan Diza hanya bersorak saja menyaksikan ulah kami berdua ini.

“Iya nih…!, gimana mau buru-buru punya istri atau pacar, jika kelakuannya saja enggak jauh beda dengan Diza dan Dika ya…?” tambah teteh seolah ingin mendapatkan persetujuan dari semua yang ada disini.

“Sudahlah, lebih baik kalian makan terpisah saja deh…!, tuh di saung dekat kolam saja, biar ditemani nyamuk-nyamuk..!” aa dengan sadisnya mengusir kami berdua.

“Rayi nih a..! yang mulai..” Panji berusaha mebela diri.

“Bukannya kamu Ji, yang serakah…?” aku tidak mau kalah dengannya.

“Sudah-sudah sana pergi..! memang kalian ini biang kerok deh...!” Ibu ikut-ikutan mengusirku.

“Bener nih aku harus menyingkir …? Ayo Dika, Diza mending ikut Om Yuukk!” ajak aku pada Dika dan Diza yang masih cengengesan ikut berebut ayam panggang ini.

“Oke Om…!” Seru Dika dan Diza secara bersamaan. Kami berempat pun segera berlalu meninggalkan mereka yang masih tengah asyik menikmati makan malamnya.

“Ma..., Pa....bolehkan aku ikut Om Rayi dan Om Panji..?” teriak Diza pada mama dan papanya, Aa dan Mbak Maya hanya mengangguk saja dengan senyum mengembang kearahku.

Mang Diman dan Bik Sumi turut membantu membawakan beberapa makanan untuk kami ke saung yang letaknya hanya beberapa langkah saja dari teras belakang rumah. Selain udaranya yang dingin di tempat ini sangat enak untuk dinikmati sambil makan malam seramai ini, karena ulah Dika dan Diza yang sering teriak-teriak kegirangan saat bercanda. Dari saung ini dapat dilihat pemandangan dan suasana perkampungan di waktu malam, kerlap-kerlip cahaya lampu terlihat seperti kunang-kunang yang berterbangan dalam gelapnya malam, belum lagi suara tongeret dan juga jangkrik yang tidak henti-hentinya bersuara, irama khas daerah pegunungan.
Sejak pertemuanku kembali dengan Panji, kami berdua sering menghabiskan waktu berdua di sela-sela kesibukan kami masing-masing. Aku sangat senang sekali dapat menemukan sosok Panji kembali saat ini, ingin rasanya menebus hari-hari yang hilang dulu dengan selalu bersamanya, menghabiskan waktu sebisa mungkin. Hangout bareng baik di kafe maupun ditempat-tempat gaul lainnya seperti para eksekutif muda Jakarta kebanyakan. Atau hanya menghabiskan waktu berdua saja dengan memasak di rumah, berenang, browsing internet, atau bahkan mengotak-atik mesin dan audio mobil kami masing-masing. Apapun yang kami berdua lakukan terasa sangat seru dan begitu mengasyikan.  

 “Yi.., tolong ambilkan sayuran yang sudah aku bersihkan tadi, terus sekalian kamu potong-potong ya...!” seru Panji sambil terus menyiangi ikan-ikan yang akan dimasaknya. Jika sedang seperti ini, Panji kelihatan tidak hanya seperti dokter bedah yang tengah mencabik-cabik isi perut ikan, akan tetapi dia lebih mirip koki handal hotel maupun restoran ternama.

“Oke Bos...!” aku buru-buru menghampirinya di dapur, sementara aku baru saja menyelesaikan menyirami tanaman di halaman depan dan belakang rumah.

“Tanamannya, sudah kamu selesai disiram semua kan Yi...?” Tanya panji sambil terus asyik melanjutkan pekerjaannya.

 “Beres Bos…!, sayuranya dipotong biasa kan…?” tanyaku, sambil memilah-milah sayuran yang akan aku potong.

“Iya Bro, untuk campuran soup..!” sahutnya, tanpa menoleh kearahku, aku sendiri  mulai sibuk  memotong-motong sayuran tadi.

“Ji.., bumbu ikannya, jangan terlalu pedas ya…!” seruku, sambil memisahkan sayuran-sayuran yang sudah aku potong-potong.

“Mana enak Yi, kalau tidak pedas…!, tapi nanti aku pisahkan deh, khusus buat kamu” dia mengedipkan sebelah matanya kearahku sambil sedikit tersenyum meledekku.

“Nah gitu dong…!, jadi juru masak itu harus peka dan harus mengikuti selera yang akan menikmati masakannya tersebut..!” aku terkekeh, saat melihatnya menjulurkan-julurkan lidahnya hanya untuk mengolok-olokku.

“Hanya tinggal makan saja, kamu ini cerewet banget sih…!” gerutunya, sambil mulai meracik bumbu-bumbu yang akan dimasaknya.

“Deuhhhh…!, gitu aja ngambek….!” Ledekku sambil menyerahkan sayuran-sayuran yang sudah aku potong-potong tadi.

“Ngambek…?, no way…!, justru aku senang sekali Yi, dapat melakukan segala hal bersama kamu” Panji mulai menghentikan pekerjaannya, dan kembali menatap kearahku.

“Iya Ji, aku juga sangat senang sekali, pada akhirnya kita dapat bersama-sama lagi seperti waktu kita kecil dulu. Makasih banyak ya Ji, sudah mau menjadi sahabat terbaikku…!” pandanganku nanar menatap kearahnya, yang juga sedang menatap kearahku.

“Sama-sama Yi, pastinya aku juga merasakan hal yang sama sepertimu, semoga saja persahabatan kita ini akan dapat terus terjalin, sampai kapanpun” Panji menjabat tanganku dengan begitu eratnya.  

“Amin…” jawabku singkat, sambil membalas jabat tangannya.

“Udah ah..!, jangan melo gitu…!”  dia mulai melepaskan genggaman tangannya, dan kembali sibuk dengan bumbu-bumbu yang diraciknya tadi.

Kami berdua hanyut terbawa perasaan kami masing-masing, saling terdiam sesaat, namun pada akhirnya kami hanya dapat tertawa bersama atas kejadian ini. Baik Panji maupun aku, sudah seperti kakak beradik yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Sepertinya akan kurang lengkap saja, jika aku maupun dia dalam keadaan sendirian, pasti dalam setiap waktu luang kami, akan melibatkan satu dengan yang lainnya. Seperti halnya aku, dimana aku sering sekali datang ke kliniknya Panji, hanya untuk menemaninya menyelesaikan deretan antrian pasien-pasiennya. Aku sudah seperti asisten pribadinya saja saat panji melakukan diagnosa serta pengobatan bagi pasien-pasiennya, karena Panji memang dengan sengaja melibatkanku dalam pekerjaannya, meskipun sudah ada dua suster yang membantunya disini. Aku tidak tahu persis dengan apa yang Panji lakukan ini. Mungkin saja, dia tidak ingin melihatku berbengong ria ataupun jenuh disaat menemaninya disini. Dengan melibatkanku ini, paling tidak aku dapat melewatkan semua kejenuhan tersebut. Dan benar saja, selain aku dapat melewatkan waktu dengan sesuatu hal yang lebih bermanfaat, aku juga merasa sangat senang sekali melakukannya, kehadiranku disini, jadi merasa lebih berarti dengan membantu Panji praktek. Sebagai upahnya, pasti Panji akan mentraktirku makan enak saat pulang nanti.
Tidak hanya aku, Panji pun demikian. Dia sering membantuku menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantorku yang aku bawa kerumah, terutama laporan yang berupa hitung-hitungan statistik berikut dengan diagram serta grafiknya. Untuk urusan yang satu ini Panji sangat jago sekali, aku benar-benar merasa terbantu olehnya. Panji juga pernah membantuku, saat semua karyawan melakukan medical check up di kantorku. Sebenarnya, dia bukan dokter yang memeriksa test kesehatan untuk semua karyawan di kantorku ini, akan tetapi dia hanya membantuku, menganalisa kualitas pemeriksaan yang dilakukan oleh para petugas medis tersebut, supaya tidak terjadi kekeliruan diagnosa maupun kesalahan prosedur medisnya. Tidak secara mendetail memang, apa yang Panji lakukan ini, hanya sekilas-sekilas saja. Karena Panji juga tahu, para petugas yang di kirimkannya ini adalah para petugas pilihan yang benar-benar handal dibidangnya dan akan bertugas secara professional.
            Berulang kali aku berucap syukur kepada Tuhan, atas segala yang telah di berikaNYA untuk aku. Semua keluarga tercintaku di Desa, yang kini hidup berbahagia dengan segala karuniaNYA. Begitupun dengan Panji, sahabat kecilku, sahabat terbaikku hingga kini. Itulah aku dan Panji, dua sahabat yang dulu pernah dipisahkan oleh jarak dan waktu. Terimakasih Tuhan, aku tidak pernah menduganya, pada akhirnya sesuatu yang pernah hilang itu, telah Tuhan kembalikan satu persatu. Aku hanya dapat mengucap syukur atas keajaiban ini, life is un-frediksible...! Isn’t  it…?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar