Selasa, 22 Mei 2012

cerita-cerita khayalanku: Dan, ketika cinta itu datang...

cerita-cerita khayalanku: Dan, ketika cinta itu datang...: Aku tidak pernah menduganya… By : Ganta vaksie Hari masih gelap, meski pagi sudah menjelang. Semburat jingga di ufuk timur masih samar-s...

cerita-cerita khayalanku: Mencintai dia....

cerita-cerita khayalanku: Mencintai dia....: Sepupu Pengantin itu Sahabatku By : Ganta Vaksie Ketika aku datang, sang pengantin baru saja selesai diarak berkeliling kampung dengan me...

Kamis, 31 Maret 2011

Krisis hidup...


Tangis anak-anakku…..
By : Ganta Vaksie

Kulihat  Si Sulung sudah mulai terlelap tidur diatas tumpukkan kardus mie instant. Wajahnya yang pucat, terlihat begitu damai dalam lelap tidurnya. Bbibirnya yang sebagian terkelupas dan mengering, sesekali bergerak-gerak. Entah apa yang sedang diimpikannya. Mungkin saja dia tengah bermimpi makan enak, karena hampir dua hari ini, tidak sesuap makananpun yang  dapat dimakannya. Sementara Si Kecil yang berada dipangkuanku, dia masih saja terus gelisah menjelang tidurnya. Mungkin saja matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Rasa laparnya ini lebih mengalahkan rasa kantuknya, meski hari sudah mulai semakin larut. Sejak sore tadi, dia terus saja merengek minta dibelikan nasi bungkus. Sejak tadi pula, aku berusaha terus membujuknya, sudah ratusan dongeng yang dia dengarkan, hanya untuk mengalihkan rengekannya.  Selain itu juga, aku berharap rasa kantuknya ini, akan membuatnya segera  terlelap dan melupakan sejenak dari rasa laparnya yang mungkin saja semakin menjadi-jadi. Hatiku benar-benar hancur, melihat kondisi buah hatiku menderita seperti ini. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan apa saja sesuai kemampuanku, tapi tidak untuk meminta-minta. Bagiku hal yang terakhir ini, tidak akan pernah aku lakukan meski keadaanku sesulit ini. Selagi raga dan jiwaku masih sehat. Aku akan terus saja berusaha untuk bekerja semampu yang dapat aku lakukan.
Sebenarnya sudah sering sekali juga, aku menjalani beberapa tes wawancara kerja. Sebenarnya, untuk saat ini aku tidak memerlukan pekerjaan dengan jabatan yang tinggi, yang sesuai dengan pendidikan dan juga pengalaman kerjaku. Yang terpenting bagiku saat ini adalah aku dapat memiliki penghasilan untuk kelangsungan hidupku dan juga kedua anakku.Aakan tetapi hingga hari ini, semua hasil tes dari lamaran pekerjaanku ini belum ada titik terang untuk dapat diterima diperusahaan tersebut. Sudah beberapa kali juga aku mencoba menghubungi beberapa teman dekatku dan juga partner bisnisku dulu. Tidak bermaksud untuk meminta belas kasihan mereka, dengan mengharapkan santunan ataupun bentuk bantuan lainnya, seperti yang mereka asumsikan selama ini. Padahal yang aku butuhkan hanyalah pekerjaan. Mungkin saja mereka dapat memeberiku pekerjaan apa saja, baik di perusahaannya maupun melalui rekomendasinya. Selain mereka ini dulunya pernah menjadi partner bisnisku. Paling tidak, aku pernah memberikan kontribusi yang lumayan besar atas bisnis-bisnisnya mereka ini. Tapi sepertinya, semua itu tidaklah begitu ada artinya  lagi ketika aku benar-benar terpuruk. Semuanya tidak mungkin lagi dapat aku harapkan lagi. Aku benar-benar berada pada titik nol besar. Tidak lagi memiliki apa-apa.  Jangankan teman, sahabat atau kerabat, mungkin saudaraku juga sudah enggan lagi untuk perduli terhadapku, ketika aku benar-benar sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Tidak hanya bisnisku saja yang mengalami kebangkrutan, akan tetapi keluargaku juga ikut hancur. Istriku yang semula aku fikir adalah orang-satu-satunya tempat dimana aku berkeluh kesah dalam kondisi apapun, dia begitu tega meninggalkanku dan juga kedua anak-anakku. Dia lebih memilih kehidupannya yang dulu,  dimana dia tidak ingin  kekurangan apapun.
“Ayah, aku laper….!” Suara lirih anakku, seketika membuyarkan lamunanku.
“Sabar sayang…!, ayah usap-usap perutnya ya…!” secara perlahan aku mulai mengusap-usap bagian perutnya yang keroncongan minta untuk diisi.
“Aku ingin sekali makan dengan pecel lele Yah…!” pintanya dengan suara yang semakin memelas.
“Iya sayang…!, sekarang sudah terlalu malam, lebih baik kamu segera tidur ya…!, ayah akan bacakan senandung sholawat, pengantar tidurmu ya…!” dengan suara yang aku buat selembut mungkin, aku mulai menyenandungkan sholawat Nabi sebagai pengantar tidurnya.
            Tanpa terasa air mataku semakin deras mengalir dipipiku, saat aku memandangi wajah pucat sibungsu yang sudah mulai terlelap. Semoga saja, tidurnya akan terus lelap hingga esok pagi, paling tidak hanya untuk melupakannya sejenak dari rasa laparnya. Malam sudah semakin beranjak menjelang pagi, dikejauhan masih terdengar suara dari beberapa kendaraan yang masih melintasi jalanan besar yang ada diatas jembatan dimana aku dan kedua anakku bermalam disini. Aku masih saja memandangi keduanya silih bergantian, mereka terlihat sangat pulas sekali dalam tidurnya. Hatiku semakin terasa perih sekali, manakala memandangi lekat-lekat wajah kedua anakku ini, wajah polos mereka yang seharusnya tidak menanggung derita seberat ini. Semoga saja apa yang terjadi saat ini, akan segera berlalu. Sepertinya aku tidak kuasa lagi untuk menghadapinya, jika melihat kondisi anak-anakku yang tengah merengek kelaparan. Akan tetapi, anak-anakku juga yang menjadikanku tetap kuat dan selalu berbesar hati atas semua yang telah menimpa kehidupanku saat ini. Seperti biasanya, ketika anak-anakku lelap dalam tidurnya, aku sengaja memanfaatkannya untuk bersujud menghadapNya. Perlahan aku bangkit dari dudukku, untuk segera mengambil air wudhu yang ada di pinggiran kali. Dengan diterangi keremangan cahaya lampu jalanan dan juga sinar bulan yang samar-samar, aku mulai melafadzkan segala do’a-do’a dalam sujudku. Aku selalu meyakini, jika suatu saat nanti Tuhan pasti akan mengangkat semua penderitaaanku ini.
            Kejadian ini bermula sekitar setengah tahun yang lalu. Perusahaan yang selama ini aku rintis mengalami kebangkrutan total, karena kecerobohanku sendiri. Partner bisnisku yang juga adalah sahabat karibku sendiri, yang menjebloskan bisnisku ini kelubang kehancuran. Hampir semua asset perusahaan diambil alih dan disita oleh bank, guna menutupi seluruh hutang-hutang perusahaan. Satu persatu barang-barang berharga yang tersisapun ikut terjual untuk menutupi semua kebutuhan hidup keluargaku. Puncaknya adalah ketika rumah yang kami tinggalipun, pada akhirnya harus kami lepaskan, demi menutupi semua sisa-sisa hutangku. Pihak penyita tidak lagi memberikan kami kesempatan untuk membereskan sisa-sisa barang-barang kami. Dengan diusir paksa, akhirnya aku dan kedua anakku harus keluar dan pergi meninggalkan rumah itu. Untung saja, ketika itu Pak Sopari mantan sopir keluargaku, memberikan kami tumpangan untuk tinggal sementara waktu di rumahnya yang berukuran sangat sempit  untuk dihuni oleh istri dan juga keempat anaknya. Apa jadinya jika aku dan juga anak-anakku harus ikut tinggal bersama mereka. Hal itulah yang menjadi alasanku untuk tidak jadi tinggal di rumahnya keluarga Pak Sopari.
“Bapak dan anak-anak mau tinggal dimana pak…?, walaupun rumah ini sempit, paling tidak untuk sementara waktu Bapak dapat tinggal dulu di rumah kami ini…!. Tolonglah Pak, lebih baik Bapak fikirkan kembali niat Bapak ini, kasihan anak-anak Pak…!” suara Bu Sopari begitu sangat memelas sambil terus saja terisak.
“Betul Pak, yang istri saya bilang barusan. Biar bagaimanapun, rumah ini kan Bapak yang memebelikannnya untuk kami tinggali. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi bapak dan juga anak-anak untuk pergi dari rumah ini. Walaupun rumah ini kecil, paling tidak masih ada satu kamar yang bisa bapak tempati bersama anak-anak. Biarlah saya dan anak-anak saya tidur di disini saja Pak. Sejak dulu kami memang sudah terbiasa tidur seperti ini sebelumnya. Berkat kebaikan Bapak pula, pada akhirnya kami sekeluarga dapat tinggal dengan layak di rumah ini” tidak henti-hentinya Pak Sopari menggenggam tanganku, untuk meluluhkan hatiku supaya tidak jadi pergi dari rumahnya.
“Pak Sopari dan juga Ibu..! Terimakasih atas kebaikannya..!. Pak Sopari dan keluarga, sudah banyak sekali membantu keluarga saya. Saya tidak ingin terus-terusan merepotkan kalian. Biarlah, saya dan anak-anak tetap pergi. Insyaalloh, kami dapat menjalani semua ini dengan sekuat hati. Mohon do’anya saja untuk kebaikan kami semua…!” tidak henti-hentinya aku membelai rambut kedua anakku silih bergantian. Mereka berdua hanya tidur-tiduran saja diatas pangkuanku, meski sejak tadi anak-anaknya Pak Sopari mengajaknya bermain bersama dengan membujuknya berkali-kali.
“Pak tolonglah…!, paling tidak untuk terakhir kalinya, izinkan kami untuk membantu Bapak…!”  Pak Sopari sepertinya begitu sangat mengkhawatirkan keadaanku.
“Iya Pak…! bagi kami, semua ini tidaklah ada artinya, bila dibandingkan dengan segala kebaikan bapak selama ini terhadap kami” Tangis Bu Sopari semakin menjadi-jadi, aku jadi semakin tidak enak hati saja.
“Sudahlah Bu…! Tidak perlu membesar-besarkan hal itu lagi…! Biarlah kami pergi Bu…!, sekali lagi terimakasih atas semua kebaikannnya…! Saya dan anak-anak pamit ya…!” kuajak anak-anakku untuk bangkit, sambil membenahi tas yang tadi kami biarkan tergeletak dilantai.
“Kita mau kemana Yah…?” Tanya si sulung, sambil tetap menggelendot di lenganku.
“Ayo, kita pergi sayang…!” ajakku, sambil membetulkan letak ransel dipundaknya.
“Ayah, kita akan tidur di hotel  ya…? Asyiiik……!” teriak si bungsu, bersorak dengan riangnya. Aku hanya diam saja, sambil membimbing mereka keluar dari rumah keluarga Pak Sopari.
       Dengan sangat berat hati, pada akhirnya Pak sopari dan juga istrinya merelakan kepergianku dan juga kedua anakku. Uraian air mata haru dan juga sekelumit Do’a mereka berdua, ikut mengantarkan kepergian kami hingga ujung gang. Aku sendiri masih bingung, hendak kemanakah gerangan aku akan membawa kedua anak-anakku pergi dan tinggal. Kini kami jadi gelandangan, tanpa pernah tahu kemana kami harus berteduh meskipun hanya untuk sementara waktu. Aku sudah tidak memiliki apapun, termasuk uang sepeserpun. Karena sisa uang yang aku miliki, hanya cukup hingga hari kemarin, untuk makan dan juga ongkos bis kota saat aku memenuhi panggilan interview dari perusahaan tempat aku melamar pekerjaan beberapa waktu yang lalu. Aku ingat, tadi Pak sopari sempat memberikan sesuatu yang dia susupkan kedalam tas ransel anakku.
“Ini ada sesuatu Pak..!, mungkin tidak seberapa, semoga saja dapat sedikit membantu bapak dan juga anak-anak…!” awalnya dia memeberikan ini saat menyalamiku, akan tetapi aku buru-buru menolaknya. Meskipun dia begitu memaksanya.
            Pada akhirnya aku hanya bisa diam saja, ketika Pak Sopari  menyusupkan amplop itu kedalam tas ransel anakku. Aku tidak kuasa lagi untuk berkata apa-apa atas segala kebaikan dan juga pengabdiannya terhadap keluargaku.  Benar saja, ternyata isi amplop yang Pak Sopari berikan ini, sangat berguna sekali untuk aku dan juga anak-anakku. Selain sejumlah uang, dia juga memberikan sebuah handphone yang dulu pernah aku belikan untuknya. Handphone ini akan sangat bermanfaat sekali bagiku, paling tidak jika aku ada panggilan kerja ataupun hal lainnya.
            Jika aku mengingat masa jayaku dulu. Seingatku aku tidak pernah kikir terhadap siapapun, bahkan aku termasuk orang yang tidak tegaan. Jangankan untuk membantu saudara-saudaraku, untuk orang yang baru aku kenalpun, aku tidak pernah segan-segan untuk membantunya ketika merkea meminta pertolonganku. Hidup yang serba kecukupan, rumah mewah dibeberapa tempat elit dan juga kendaraan-kendaraan mewah keluaran terbaru yang selalu siap mengantarkanku dan juga anak-anakku kemanapun kami pergi. Berlibur dan berwisata ke berbagai tempat diseluruh belahan dunia, sudah menjadi agenda rutin keluargaku. Sepertinya semua baru saja terjadi kemarin ini, padahal sudah hampir setahun ini,  aku dan anak-anakku berada dalam kondisi yang seratus delapanpuluh derajat, sangat  berbeda sekali bila dibandingkan dengan pada masa kejayaannku sebelumnya.  Puncaknya adalah, ketika aku dan anak-anakku diusir paksa dari rumahku oleh petugas eksekusi. Dengan sangat terpaksa kami harus meninggalkan rumah yang selama ini kami tinggali. Sejak saat itu, kehidupanku dan juga anak-anakku mulai terlunta-lunta. Kami tinggal dimana saja yang dapat kami jadikan tempat untuk sekedar berteduh maupun tidur di sepanjang malam yang dingin dan juga lembab. Tidak hanya ditemani oleh nyamuk-nyamuk ganas penghisap darah, melainkan aneka binatang lainnyapun sudah menjadi teman hidup kami selama menjadi gelandangan.
            Aku dan anak-anakku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan kami sekarang ini. Awalnya kami hidup dari mengumpulkan barang-barang bekas yang sengaja kami pungut di tempat-tempat sampah. Hasilnya lumayan dapat memenuhi kebutuhan makan kami sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, kehidupan kami sedikit mengalami peningkatan. Hal ini berawal, pada saat aku dimintai tolong oleh seseorang untuk membereskan kabel-kabel, pipa dan juga peralatan lainnya di sebuah bengkel reparasi salah satu merek computer ternama. Ketika itu, aku sedang mengorek-ngorek isi tong sampahnya, barangkali saja ada barang-barang bekas yang dapat aku jual ke tengkulak. Tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya yang menghampiriku dan menyuruhku untuk membereskan semua barang-barang yang berserakan di bengkelnya tersebut. Disaat yang bersamaan, datang seorang ibu-ibu muda dengan pakaian yang serba glamour. Tidak hanya penampilannya saja yang menunjukkann keangkuhannya, akan tetapi dari caranya dia berbicarapun semakin memeprjelas karakternya. Dengan berkacak pinggang, dia mulai mengumpat melontarkan kata-kata kasar kepada si pemilik bengkel reparasi yang sedikit kebingungan menghadapinya. Rupanya ibu ini, baru saja memperbaiki laptopnya yang rusak. Entah apa yang terjadi dengan laptopnya tersebut, sehingga dia begitu marahnya melabrak pemilik bengkel ini. Secara tidak sengaja aku dapat mendengar semua yang disampaikan oleh ibu ini. Bagaimana tidak, jangankan aku yang berada didekatnya, mungkin hingga tempat parkirpun suaranya akan terdengar dengan jelas. Setengah berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah wajah sipemilik bengkel, ibu ini terus saja nyerocos tanpa terkendali. Pada akhirnya dia capek sendiri juga marah-marah seperti ini, lambat laun suaranya mulai melunak dan bisa diajak untuk kompromi. Dengan sikap yang sedikit takut-takut, akhirnya bapak si pemilik bengkel dapat mengajak perempuan ini untuk duduk dan berbicara bersama secara baik-baik. Entah apa yang dijanjikan oleh si bapak pemilik bengkel kepada perempuan yang tadi marah-marah. Karena aku lihat, sesaat kemudian mereka berdua sudah berdamai, bahkan sepertinya mereka kini sudah saling bercanda, terdengar dari derai tawa mereka berdua, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka berdua barusan. Aneh memang, tapi itulah manusia dengan segala macam watak dan juga karakternya. Mungkin dulu, aku juga pernah berlaku seperti itu tanpa aku sadari. Sebenarnya aku tidak ingin marah atau berbicara dengan nada yang tinggi kepada siapapun. Kepada para stafku dikantor, para pegawai di rumah, partner bisnis atau siapapun itu. Aku hanya bersikap tegas saja. Aku ingin mereka menyadari kekeliruannya atas apa yang telah mereka lakukan  dan merekapun berusaha untuk memperbaikinya. Begitupun sebaliknya jika itu terjadi dengan aku. Maka dengan berbesar hati aku akan meminta maaf dan mengakui kekeliruanku kepada siapapun, termasuk kepada para pembantuku dirumah atau bahkan sopirku.
“Sudah selesai Pak…?” Tanya bapak pemilik bengkel tiba-tiba, suaranya yang berat seketika sudah membuyarkan lamunanku.
“Sudah Pak…!” jawabku, dengan sedikit gugup.
“Kalau sudah, tolong langsung dibawa kegudang belakang ya Pak..!, Bapak masuk melalui pintu itu…!, habis itu Bapak masuk keruangan saya ya…! Ada yang masih dibereskan disini…!” perintahnya, sambil menunjukkan arah pintu menuju gudang.
“Baik Pak…!” jawabku, sambil membawa barang-barang yang tadi aku bereskan menuju gudang.
            Dengan sangat  hati-hati sekali, aku mulai melewati  pintu yang menuju gudang. Pintu ini menuju sebuah lorong yang mengapit beberapa ruangan pada sisi kanan dan kirinya. Ruangan-ruangan ini ternyata merupakan tempat mengerjakan reparasi komputer oleh beberapa teknisi yang sudah terlatih, terlihat dari keseriusan mereka ketika sedang bekerja.    Usai meletakkan barang-barang tadi, aku bergegas menuju ruangan Bapak pemilik bengkel ini, yang letaknya berseberangan dengan ruangan para teknisi tadi. Usai mengetuk pintu ruangannya, aku dipersilahkan masuk olehnya. Agak canggung juga aku berada diruangannya yang dipenuhi oleh beberapa CPU, monitor dan juga perlengkapan computer lainnya.
“Silahkan duduk Pak disini…!” dia memberikan kursi kearahku, aku hanya menutut saja untuk duduk dihadapan meja kerjanya.
“Terimakasih Pak…!” jawabku singkat.
“Tunggu sebentar ya Pak…!, saya sedang terima telpon dulu” aku hanya mengangguk saja kearahnya. Diapun kembali meneruskan menelpon kolega, keluarga atau entah siapa. Aku tidak ingin menguping pembicaraannya tersebut.
            Sambil menungguinya menelpon, aku kembali mengamati sekeliling ruangan pemilik bengkel ini. Ternyata tidak hanya perseorangan saja yang menjadi para pelanggannya, melainkan juga dari beberapa perusahaan besar dan juga beberapa intansi pemerintahan. Hal ini terlihat dari beberapa tag memo yang ditempelkan pada CPU,monitor, maupun perangkat lainnya. Yang menuliskan identitas pemiliknya, tanggal penyerahannya dan juga tanggal penyelesaiannya berikut dengan segala permasalahan kerusakannya. Semuanya tertulis secara  lengkap dalam tag memo tersebut.
“Maaf, sudah lama menunggu…!” sapa pemilik bengkel dengan senyum yang mengembang.
“Ehmmm, tidak apa-apa Pak…!” jawabku, dengan sedikit kaget.
“Begini Pak, saya mau minta tolong bapak, untuk membenahi semua barang-barang ini keruangan yang ada di depan sana…!,” dia menghentikan ucapannya sejenak. Kemudian dia bangkit sambil menunjukkan ruangan yang berada persis dibagian depan bengkel ini. Rupanya ruangan depan ini baru saja direnovasi dengan dipasang beberapa partisi untuk meletakkan komputer-komputer yang sudah selesai diperbaiki.
“Bapak bisa lihat kan..?, disana ada rak-rak besi yang masih kosong. Bapak tinggal meletakkan semua barang-barang ini disana ya..!” dia kembali menunjukkan beberpa perangkat computer yang masih bertumpuk diruangannya.
“Bagaimana, mudahkan Pak…?” tanyanya, sambil menatap tajam kearahku.
“Iya Pak..!”  jawabku, sambil bangkit dari tempat dudukku, menghampiri tumpukan komputer-komputer yang ditunjukkan tadi.
“Oke, kalau begitu…!, yang disebelah sini dulu ya…!” dia menunjuk kearah tumpukkan beberapa CPU yang sudah mulai berdebu. Aku hanya mengikutinya saja.
“Tolong hat-hati ya Pak…!”  pintanya, sambil terus mengawasiku yang sudah mulai memilah-milah bagian mana yang akan aku mulai pindahkan.
“Saya akan berhati-hati sekali Pak…!” jawabku, sambil menoleh kearahnya. 
“Bagus…!, saya akan mengawasi bapak dari sini…!” diapun segera berlalu dari hadapanku, dan kembali ke meja kerjanya.
            Akupun kembali disibukkan dengan barang-barang yang menumpuk diseluruh ruangan ini. Satu persatu aku mulai memindahkannya. Sengaja aku menyusunnya berdasarkan tanggal penerimaannya saat barang-barang ini di bawa kesini, hal ini aku maksudkan agar lebih memudahkan pada saat mencarinya.  Yang aku lakukan ini hanyalah inisiatifku saja, bapak pemilik bengkel tidak menyuruhnya demikian, yang terpenting baginya adalah semua barang-barang ini berpindah tempat dari ruangannya. Hampir dua jam sudah, aku mengerjakan semuanya dengan penuh kesungguhanku. Aku tidak ingin mengecewakan bapak si pemilik bengkel ini yang sudah berbaik hati memberiku pekerjaan.  Begitu dirasa semuanya sudah selesai, akupun segera kembali keruangan bapak sipemilik bengkel yang masih tengah asyik meneruskan pekerjaannya.
“Permisi Pak…!, semuanya sudah selesai Pak…!” suaraku aku buat sepelan mungkin, karena aku takut menganggunya.
“Oh…? Oke..!, saya akan lihat sebentar ya Pak…!” dia bangkit dari tempat duduknya, dan beranjak menuju ruang depan untuk melihat hasil kerjaku. Aku hanya mengikutinya saja dari belakang. Saat dia mulai memeriksa hasil kerjaku. Agak sedikit deg-degan juga sebenarnya, aku khawatir jika hasil kerjaku ini akan menegcewakannya.
“Bagus Pak…! hanya saja, kenapa harus terpisah-pisah seperti ini Pak..?” tanyanya, sambil menunjuk ke beberapa rak yang memang isinya sebagian ada yang penuh dan ada yang sedikit, bahkan kosong.
“Maaf Pak..!, sengaja saya pisah-pisahkan berdasarkan tanggal penyerahannya Pak. Maksud saya, supaya lebih memudahkan untuk mencarinya, pada saat pemiliknya hendak mengambilnya Pak. Mohon maaf Pak…!, jika menurut bapak ini salah, saya akan segera memperbaikinya Pak…! Aku sedikit takut juga, jika ternyata pekerjaanku ini tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
“Oh begitu…? Wah, hebat juga bapak ini..! Darimana bapak tahu jika yang bapak maksudkan ini benar adalah tanggal penyerahannya..?” tanyanya lagi, seolah ingin mengetesku.
“Oh, maaf Pak…!, saya menyusun berdasarkan tanggal penyerahannya ini, dengan melihat tag memo ini” jawabku, sambil menunjukkan salah satu tag memo yang digantungkan pada bagian CPU.
“Oke, memangnya bapak mengerti dengan semua tulisan yang ada pada tag memo ini…?” sepertinya pertanyaan bapak sipemilik bengkel ini benar-benar ingin mengujiku.
“Hanya sedikit saja Pak..!” aku mulai menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaannya seputar isi tag memo tersebut. Mulai dari nama pemilik barang yang direparasi, tanggal penyerahan dan selesai perbaikan, termasuk semua keterangan yang menyangkut permaslahan kerusakannya, hingga nama penerima serta nama teknisi yang memperbaikinya.
“Bagus…!, saya sangat puas dengan kerja bapak hari ini” dia tersenyum lega, dari wajahnya dapat aku lihat guratan rasa puas itu.
“Terimakasih Pak…!” akupun merasa sangat lega sekali atas hasil kerjaku ini.
“Oh ya, besok tolong bapak datang lagi kesini lebih pagi ya…! Dan tolong dengan pakaian yang bersih dan rapi  tentunya…!” dia tersenyum kearahku, sambil membimbingku mengajak masuk keruang kerjanya kembali.
“Baik pak, saya sangat berterimakasih sekali Pak…! Memangnya masih banyak pekerjaan Pak…?” tanyaku dengan sedikit hati-hati.
“Lihat saja besok Pak…! Dan ini, upah kerja bapak hari ini..!” jawabnya, sambil menyerahkan sebuah amplop saat menyalamiku.    
“Terimakasih Pak…!, saya permisi pulang…!” kumasukkan amplop yang diberikannya kedalam saku celanaku.
“Sama-sama Pak…!, jangan lupa besok kembali datang ya Pak…!” dia mengantarku hingga keluar ruangannya.
“Baik Pak…! Permisi…!” akupun segera berlalu dari hadapannya dengan perasaan bahagia sekali.
            Aku ingin sekali buru-buru berbagi kebahagian ini bersama semua buah hatiku. Siang-siang begini biasanya mereka masih asyik belajar bersama anak-anak para pemulung lainnya disebuah padepokan yang dibuat oleh salah satu LSM yang perduli terhadap pendidikan anak-anak jalanan. Aku sangat bersyukur sekali, dalam kondisiku yang sesulit ini, anak-anakku masih dapat terus belajar dan bersekolah. Meski ditempat sekolah yang alakadarnya, bagiku ini sudah lebih dari cukup. Paling tidak, aku bisa menitipkan mereka untuk smentara waktu, disaat aku tengah mengais rezeki sambil berusaha terus mencari pekerjaan yang lebih baik. Atas bantuan mereka pula, kini aku memiliki tempat tinggal berupa petakan-petakan kecil yang dibuat dari triplek maupun kayu-kayu bekas. Meski letaknya saling berhimpitan, tapi lumayan dapat digunakan untuk kami berteduh, dan sedikit terlindung dari terik matahari maupun derasnya hujan. Semua orang-orang yang tinggal disekitar sini kebanyakan adalah para pemulung dan dan juga para gelandangan. Samasekali aku tidak pernah menduganya, jika kini aku harus hidup berdampingan bersama mereka. Berbagi rezeki, saling membantu dan hidup berdampingan berbaur bersama disini. Di sebuah lahan kosong diantara berdirinya gedung-gedung para pencakar langit tempat kami hidup. Tanah kosong ini, mungkin sewaktu-waktu akan segera dibangun gedung-gedung serupa oleh pemiliknya. Kami harus siap jika sewaktu-waktu rumah-rumah petak kami ini akan segera digusur dan diratakan dengan tanah. Jika ini terjadi, kemana gerangan kami semua akan tinggal…?. Jika mengingatnya, aku semakin miris. Jika aku dan juga anak-anakku harus kembali  terlunta-lunta  seperti dulu tanpa arah. Terus bagaimana dengan sekolah anak-anakku…?. Untuk yang terakhir ini, tidak hanya semakin membuat hatiku ciut, akan tetapi semakin membuatku putus asa. Tapi biarlah, aku yakin Tuhan sudah mengatur segalanya bagi kehidupan makhluknya.
Alhamdulillah,hari ini aku dapat rezeki sedikit berlebih. Tidak ada salahnya, jika aku ingin membelikan makan siang yang sedikit istimewa untuk anak-anakku. Nasi dan pecel lele kesukaan si bungsu, serta ayam bakar kesukaannya si sulung. Selain itu, aku juga ingin sekali membelikannya buku gambar serta perlengkapan sekolah lainnya. Aku rasa uang yang diberikan bapak sipemilik bengkel ini lebih dari cukup, sehingga aku dapat membelanjakannya untuk keperluan hidup kami yang lainnya. Usai membeli semua keperluan tadi, aku langsung menuju padepokan tempat kedua anak-anakku belajar. Mungkin sebentar lagi pelajaran terakhir akan segera usai, dan akan langsung dibubarkan oleh gurunya. Benar saja, belum juga langkah kakiku menapaki halaman depan padepokan ini. Aku sudah dikagetkan oleh teriakan semua anak-anak yang keluar dari pintu padepokan sambil berlarian saling berkejaran. Mungkin diantara mereka ini adalah anak-anakku, yang langsung menubrukku dengan tawa riangnya.
“Kok ayah sudah pulang sih…?” Tanya sibungsu, sambil menglendot dilenganku.
“Iya sayang..!, sengaja ayah ingin jemput kalian disini…!” jawabku, sambil membelai rambutnya.
“Wah, ayah bawa apa nih…?” Tanya si sulung, sambil ikut memegangi bungkusan ditanganku.
“Iya sayang…!, ayah belikan sesuatu buat kamu nih…! Tapi, dibukanya nanti saja dirumah ya…!” aku membimbing mereka berdua menuju rumah petak kami yang letaknya hanya beberapa meter saja dari padepokan ini.
“Asyiiiiiiiiiiiiiiiiik….!”Mereka berdua bersorak sangat gembira sekali sepertinya, tidak henti-hentinya mereka terus-terusan saling bercanda sepanjang perjalanan menuju rumah petak kami.
“Wah, pasti ayah beliin buku bacaan bekas untuk abang  ya…?” Tanya Si sulung, sambil meraba-raba isi bungkusan plastik yang tadi aku bawa.
“Kalau dari baunya sih, sepertinya ayah beliin Mas pecel lele deh…!” Si bungsupun ikut-ikutan mengacung-acungkan bungkusan plastik yang ada ditangannya, sambil sesekali mengendusnya.
“Kalian ini, paling jago deh menebak-nebak..!” Aku hanya dapat tersenyum saja atas ulah mereka berdua ini.
            Kebahgaiaan kedua anak-anakku ini terpancar tidak hanya pada saat mereka berdua melahap semua makanan kesukaannya ini, melainkan pada saat mereka membuka perlengkapan sekolah yang tadi aku belikan untuk mereka. Aku benar-benar baru menemukan kembali keceriaan keduanya. Aku begitu sangat terharu sekali menyaksikan kebahagiaan kedua buah hatiku ini. Bagiku, tidak ada kebahagiaan lain selain ketika melihat kedua buah hatiku tumbuh sehat dan bahagia selalu berada dalam pelukanku. Menurut guru-gurunya yang mengajar dipadepokan, anak-anakku ini termasuk anak-anak yang paling cerdas diantara anak-anak yang lainnya. Maklum saja si sulung sebelumnya sudah duduk di kelas 4 sekolah dasar terpadu yang saat itu juga dialah yang menjadi juara kelasnya. Sementara sibungsu sudah duduk dikelas 2 dengan segudang prestasi. Mulai dari melukis, mendongeng dalam bahasa Inggris, hingga kegiatan-kegiatan lainnya. Bahkan guru-gurunya ini sering mengajaknya mengikuti beberapa perlombaan yang diadakan di beberapa tempat. Meski tidak selalu menjadi juara, paling tidak prestasinya ini sedikit lumayan diperhitungkan oleh para pesaingnya. Melalui mereka pula, aku dibantu menyerahkan beberapa hasil karyaku kebeberapa penerbit.  Diantaranya ada beberapa novel dan juga kumpulan cerpen. Sebenarnya keinginanku tidaklah begitu muluk. Jangankan untuk dapat diterbitkan dan menjadi best seller. Bisa di print out saja sudah lebih dari cukup. Dulu disela-sela waktu  luang,  aku selalu menyempatkan diri menekuni hobby menulisku. Meski masih amatiran, paling tidak aku dapat menuangkan segala daya imajinasiku kedalam cerita-cerita yang aku buat ini. Semoga saja ini merupakan awal yang baik , ketika secara tidak sengaja aku meminjam laptop salah satu guru padepokan itu. Niatku hanya ingin mengecek USB tempat menyimpan semua file-file karanganku disitu, karena sudah terlalu lama tidak aku pakai, aku hanya khawatir saja, jika semua data hasil jerih payahku ini akan musnah, jika USB ini benar-benar sudah rusak. Tapi untungnya tidak, semua data-data itu masih tersimpan dengan baik. Hingga pada akhirnya salah satu dari guru-guru itu, melihatnya adan langsung menawariku untuk membawa hasil karya-karyaku ini ke salah satu perusahaan penerbitan. Awalnya aku menolaknya, karena aku merasa belum yakin dengan kualitas hasil karya-karyaku ini. Akan tetapi dengan segala usaha mereka untuk meyakinkanku, pada akhirnya aku hanya bisa meneyerah saja.  Aku sangat bersyukur sekali atas semua ini. Tidak hanya itu saja, kebaikan-kebaikan mereka ini, yang lebih utama adalah ketika anak-anakku masih bisa terus bersekolah bersama mereka. Karena bagiku hal ini adalah segalanya dari apapun.
“Ayah….?, kenapa ayah diam saja…?” suara si sulung ini tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Ehmmmmm, enggak apa-apa sayang…!, Ayah hanya senang saja, melihat kamu makan dengan lahapnya…!” jawabku, sambil membenahi beberapa butir nasi yang berserakan diatas tikar pandan.
“Enak banget Yah, pecel lelenya…!, Tapi sambalnya sedikit pedas Yah…!” celoteh si bungsu, sambil terus menyuapkan nasi kedalam  mulutnya dengan sedikit kepedasan.
“Pelan-pelan saja makannya…!, nanti kamu tersedak…!” aku menyodorkan gelas plastik yang berisi air putih untuk diminumnya karena kepedasan.
“Kok, Ayah enggak ikut makan sih…? Kan, masih ada satu bungkus lagi Yah…?” Tanya si sulung sambil menunjuk kearah nasi bungkus yang tergeletak diatas tikar.
“Ayah masih kenyang sayang…!, biar nanti saja, setelah ayah selesai mencuci pakaian …!” Aku mulai mengumpulkan beberapa pakaian kotor yang hendak aku cuci, dan memasukkannya kedalam ember plastik besar.
“Ayah, nanti Abang ikut bantuin nyuci bajunya ya…!” seru si sulung, sambil terus asyik menyantap makanannya.
“Mas juga, ikutan bantu Yah…!,Soalnya, Mas juga sudah bisa kok, mencuci sendiri..!” si bungsupun tidak mau kalah dengan kakaknya.
“Iya, selesaikan saja dulu makannya…!” jawabku, aku benar-benar bangga dengan niat baik anak-anakku ini.   
“Selesai mencuci nanti, kita jalan-jalan ke pasar kaget yuk…? Ajak sibungsu, sambil memebreskan sisa-sisa makannya tadi.
“Iya Yah…!, abang pengen deh, naik kereta-keretaan atau komedi putar…!” teriak si sulung penuh antusias.
“Mas juga dong Yah…! Mas juga pingin deh, naik mobil-mobilan elektrik itu…!” ulah mereka semakin seru saling bersahutan.
“Iya sayang…!, sekarang lebih baik bereskan saja dulu bekas makannya..!” Aku membiarkan mereka melakukan segalanya sendiri. hanya untuk mendidiknya belajar mandiri dan bertanggung jawab.
 “Siap Bos….!” Seru mereka secara bersamaan, mereka berdua bersorak-sorak penuh keriangan. aku hanya dapat tersenyum bangga atas ulah mereka ini. Aku belum pernah melihat mereka seceria ini, disaat-saat masa sulit ini.
            Hari yang cerah, mewarnai semua kebahagiaanku saat ini. Tidak henti-hentinya aku terus mengucap syukur kepada Tuhan atas segala karuniaNYA. Karena hari ini, aku dapat mengawali hari-hari penuh pengharapan dalam menapaki kehidupanku bersama kedua anak-anakku. Tanpa kehadiran mereka berdua, apa jadinya aku. Aku tidaklah meungkin bisa sekuat ini, menghadapi segala sesuatu dimasa-masa sulitku. Ketika segalanya mulai berubah secara perlahan, semuanya karena dukungan yang luar biasa dari kedua anakku ini. Mereka berdua ini adalah asset masa depanku. Semoga saja, aku dapat mengantarkannya menjadi anak-anak yang sholeh, yang berbakti kepada orang tuanya dan juga bangsa serta agamanya. Amin.

Mencintai dia....

Sepupu Pengantin itu Sahabatku
By : Ganta Vaksie

Ketika aku datang, sang pengantin baru saja selesai diarak berkeliling kampung dengan menggunakan kereta kencana yang diiringi kuda renggong dan juga aneka arak-arakan lainnya. Usai diarak berkeliling kampung kedua mempelai tersebut langsung ditempatkan ditengah-tengah balandongan untuk di sawer oleh sinden atau juru kawih yang sengaja di datangkan secara khusus oleh keluarga mempelai perempuan. Biasanya lagu-lagu yang dinyanyikan saat upacara nyawer ini, adalah lagu atau kidung yang berisi petuah-petuah hidup bagi kedua mempelai saat mengarungi bahtera rumahtangganya kelak di kemudian hari. Beras kuning, butiran kuncup melati dicampur dengan uang logam recehan yang disimpan dalam wadah tampolong yang terbuat dari bahan kuningan ini, isinya sesekali disebarkan oleh juru kawih ke arah kedua mempelai  pada setiap akhir paragraph dari kidung yang dinyanyikannya tersebut. Suara lembut sang juru kawih yang mendayu-dayu dengan gaya dan cengkok ala Cianjuran semakin terasa meresap di kalbu, bait-bait petuah  yang tersirat dalam kidung  tersebut, sarat dengan pelajaran serta makna hidup. Tidak hanya anak-anak saja yang ramai berebut uang logam recehan yang disebarkan sang juru kawih, melainkan hampir semua pengunjung turut serta, riuh gegap gempita manakala sang juru kawih kembali menyebarkan isi tampolongnya tersebut.
            Satu-persatu prosesi upacara adat ini berjalan sesuai agenda acara yang sudah ditata sedemikian rupa. Meski tampak kelelahan , kedua mempelai selalu saja berusaha tersenyum sumringah kepada semua yang hadir di sini. Betapa tidak, hari ini adalah merupakan hari yang paling dinantikan oleh keduanya. Perjalanan kisah cintanya yang selama ini terjalin, pada akhirnya terwujud nyata menuju pelaminan yang indah, berhiaskan aneka warna bunga yang cantik dan elok serta semerbak mewangi ke semua penjuru ruangan ini. Sang mempelai wanita bertahtakan mahkota yang gemerlap bertaburkan intan permata, semakin memancarkan aura kecantikan wajahnya. Sementara sang mempelai pria, berdiri tegap dengan pakaian laksamana dilaga pangeran kerajaan dari kahyangan dengan keris pusaka yang tersangkut di pinggang bagian belakang, sungguh seperti raja dan permaisuri dalam kisah pewayangan.

“Selamat ya Die…!” Kupeluk Aldie saat giliranku menyalaminya, dia pun balas memelukku dengan eratnya  disela-sela isak bahagianya.

“Terimakasih Pram!, Selalu do’akan kami berdua ya…!” Dia semakin erat memelukku, seakan tidak ingin melepaskanku dari pelukannya.

“Sudah pastilah bro…!, kebahagiaanmu adalah kebahagianku juga, Do’akan aku juga ya..!, biar aku buru-buru menyusul kalian…!” Aku berusaha bercanda hanya untuk mencairkan suasana dari segala keharuan ini.

“Kami berdua pasti akan selalu mendukungmu Pram...!” kembali Aldie memelukku dengan eratnya, sebelum akhirnya aku turut menyalami Shinta istrinya Aldie.

“Selamat ya Shin...!, Semoga kalian berdua akan selalu berbahagia selamanya..!” Kucium pipi kanan dan kirinya Shinta, akan tetapi Shinta malah menghamburkan diri ke dalam pelukanku sambil terisak.

“Terimakasih Mas Pram....!” Suaranya sedikit tersekat oleh isak tangisnya. Badannya sedikit terguncang dalam pelukanku, aku berusaha menahan berat tubuhnya yang bersandar penuh ditubuhku.

“Shinta...! sudahlah, nanti make-upmu luntur lho…!,” candaku sambil mengusap-usap bahunya, sebenarnya aku agak sedikit malu juga oleh tamu-tamu yang lainnya , sepertinya semua mata hanya tertuju pada adegan kami ini.

“Aku enggak bakalan kemana-mana kok Shin…!, sudahlah, kasian tamu-tamu yang lain sudah menunggu untuk menyalamimu..!, Berbahagialah Shin…!, pada akhirnya kamu dapat bersanding dengan Mas Aldiemu…!” Kuangkat wajah Shinta, hanya ingin meyakinkan jika dia baik-baik saja. Matanya sedikit sembab oleh air mata dan riasan bulu mata yang sedikit melumer.

            Dalam waktu yang bersamaan juru rias pengantin dengan sigap dan cekatan memebenahi riasan wajahnya Shinta yang sedikit berantakan karena tangisnya tadi. Aku pun segera berlalu meninggalkan pelaminan Aldie dan Shinta yang sudah di kerumuni beberapa teman, kerabat maupun tamu-tamu lainnya yang tengah menyalaminya untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka berdua. Aku kembali berbaur bersama tamu-tamu yang lainnya untuk sekedar menikmati aneka hidangan yang telah tersedia di sisi kanan dan kiri deretan kursi-kursi maupun beberapa hiasan rangkaian bunga-bunga aneka warna dengan menggunakan meja atau pot besar yang tingginya hampir setinggi orang dewasa.  Banyak sekali aneka hidangan yang dapat dipilih di sini, mulai dari aneka sajian prasmanan lengkap dengan tambahan menu dessert yang terdiri dari aneka buah-buahan, pudding, ice cream, pastry dan aneka jajanan pasar. Disudut-sudut ruangan juga disedikan aneka hidangan lainnya yang disajikan dengan menggunakan saung-saung kecil, ada siomay Bandung, soto ayam atau soto mie, pempek Palembang, bahkan aneka minuman penggugah selera lainnya, seperti es cendol, es dawet dan es doger pastinya.
            Bingung sendiri saat memilih bermacam-macam makanan yang disajikan tersebut, akhirnya aku lebih memilih menikmati buah-buahan saja dengan segelas air putih di tanganku. Dinginnya air yang kuminum ini sedikit dapat memberikan kesegaran di tenggorokanku dari panasnya udara siang ini di antara hiruk-pikuknya para tamu undangan yang tengah menikmati hidangan makan siangnya. Kuedarkan segenap pandanganku mengitari seisi gedung ini, hanya untuk sekedar mengusir sepiku dari kesendirianku ini. Sebenarnya aku datang ke pesta pernikahannya Aldie dan Shinta ini tidaklah sendirian, melainkan bersama papi, mamiku dan juga Tio adikku. Mami dan papiku sudah sejak tadi sibuk kesana-kemari saling bertegur sapa dengan semua tamu yang dikenalnya, mulai dari Bapak Walikota, orang-orang para pejabat pemerintahan kota, hingga para relasi Papi dan juga mami yang sibuk dalam bisnis property serta aneka usaha kulinernya. Sementara Tio, sudah sejak tadi aku tidak melihat batang hidungnya, rupanya sejak tadi dia sibuk mendekati Tiara adiknya Shinta yang memang satu kampus dengannya. Kini tinggallah aku sendiri yang kebingungan. Sangatlah malas sekali jika aku harus bergabung bersama papi dan mami yang pastinya terasa kaku sekali dengan suasana formal mereka saat menghadapi para koleganya yang rata-rata dari kalangan jetset. Beginilah resikonya jika sedang tidak memiliki kekasih hati yang selalu setia mendampingi pada setiap kesempatan seperti sekarang ini. Dalam kebingunganku ini, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namaku sambil menepuk bahuku, lumayan kaget juga sebenarnya, tapi untungnya aku dapat kembali menguasai diriku.

“Hi Pram…? Apa kabar…?” dia mengulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman, sambil sedikit mengernyitkan dahiku aku berusaha membalas jabat tangannya. Belum hilang rasa kagetku, dia kembali memperkenalkan dirinya.

“Oh ya, pasti kamu sudah lupa aku ya Pram…?, Aku Baruna…! Teman SMPmu dulu. Kamu ingat…?, dulu kita selalu bersepeda sepulang latihan Pramuka maupun UKS..!” dia berusaha mengingatkanku terhadapnya. Seketika aku kembali teringat tentang sosok di hadapanku ini. Aku langsung saja memeluknya sambil terbahak.

“Hah…? Kau kah ini Baruna...?, Bagaimana kamu bisa mengenaliku..?” Aku kembali mengguncang-guncang tubuh Baruna yang berada dalam pelukanku.

“Iya Pram...!, mana mugkin aku lupa dengan kamu sahabatku, apalagi wajah tampan kamu ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh pemirsa televisi yang sering menyaksikan berita-berita yang kamu bawakan, bukankah kamu ini adalah salah satu pembaca berita terfavorit saat ini kan..?” Baruna masih saja terus mengenggam tanganku dengan eratnya.

“Kamu bisa saja Bar..! Oh ya, Apa kabar kamu dan kemana saja selama ini...?” tanyaku sambil terus memandang wajahnya yang sangat berbeda sekali ketika masa SMP dulu. Rambutnya yang sedikit ikal, badannya yang sangat kurus dan warna kulitnya yang gelap karena sering terpanggang sinar matahari, maklum saja dia ini salah satu sahabatku yang gemar berolahraga, mulai dari sepak bola, basket hingga bulu tangkis, hampir semua jenis olah raga dia kuasai dan sering mendapat juara dalam beberapa perlombaan.

“Aku sering berpindah-pindah tempat Pram, mengikuti kepindahan papaku tugas prakteknya. SMAku saja aku pindah hingga ke tiga kota, di Nganjuk, Pasuruan dan terakhir di kota Malang. Untungnya saat aku menamatkan kuliahku hanya di satu kota saja, Melbourne Ausie. Dan sempat juga beberapa tahun aku bekerja di sana. Sebenarnya belum genap seminggu juga, aku ada disini Pram..” Baruna menarikku menjauh dari kerumunan tamu-tamu lainnya, menuju salah satu ruangan yang lumayan nyaman untuk kami mengobrol.

“Terus bagaimana kamu bisa datang ke pestanya Aldie dan Shinta…?” aku semakin bingung saja, bagaimana bisa Baruna tahu acara pernikahannya Aldie dan Shinta.

“Pram…, Aldie memang sahabat kita juga sewaktu SMP dulu. Akan tetapi sama halnya dengan kamu, aku juga lose contact dengan Aldie. Entah secara kebetulan atau tidak, sekitar tiga hari yang lalu aku baru mengetahuinya, jika calon suaminya sepupuku Shinta, adalah Aldie sahabat kecilku. Saat itu aku tidak dapat banyak bertanya tentang kalian berdua pada Shinta maupun keluargaku yang lainnya, karena mereka semua sangat sibuk mempersiapkan pesta pernikahannya Aldie dan Shinta ini ” sesekali Baruna meneguk minuman di tangannya.

“Jadi Shinta ini sepupumu Bar…?” tanyaku dengan sedikit terperangah karena tidak pernah menyangkanya.

“Iya Pram, Shinta ini adalah anaknya Tante Jane adik bungsu mamaku. Sebenarnya aku dan Shinta lumayan dekat Pram, selain kami sering bertemu dalam acara keluarga, kami juga sering berkirim kabar. Betapa begonya aku, seberapa sering Shinta bercerita tentang kekasihnya ini, mengapa aku tidak pernah menyangkanya jika Aldie adalah sahabatku yang pernah aku kenal dulu, bahkan Shinta juga banyak bercerita tentang persahabatan kalian bertiga ini” Baruna menepuk-nepuk kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. Aku hanya bisa tertawa melihat ulahnya ini.

“Dunia kok sempit banget ya Bar...?” Baruna hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil tidak henti-hentinya tertawa.

“Kok kalian bisa bersahabat Pram..?”tanyanya, saat dia mulai berhenti tertawa.

“Aku dan Aldie berkuliah di kampus yang sama namun berbeda jurusan, dan kebetulan Shinta adalah adik kelasnya Aldie dua tingkat dibawahnya. Aku tidak ingat persis kapan kami mulai berkenalan, yang jelas saat itu Aldie memperkenalkan Shinta sebagai pacarnya. Berhubung aku sendiri tidak memiliki pacar, akhirnya kami sering pergi bertiga kemanapun, aku sempat merasa tidak enak hati juga sebenarnya terhadap mereka, akan tetapi justru merekalah yang mengkondisikannya seperti itu, bahkan jika Aldie berhalangan untuk mengantarkan Shinta kesebuah acara, pastilah aku yang akan menggantikannya, dan itu sering terjadi diantara kami berdua, bahkan saat Aldie harus ikatan dinas keluar daerah selama beberapa waktu lamanya, aku dan Shinta sering menghabiskan waktu berdua saja. Terakhir aku berpisah dengan mereka saat aku harus meneruskan studiku di Boston, itu adalah hari-hari sepiku tanpa Aldie dan Shinta di sepanjang waktu selama aku disana. Untung saja mereka berdua selalu menghiburku melalui apapun yang dapat mereka dapat lakukan untuk aku, bahkan pada suatu kesempatan, mereka berdua sempat mengunjungiku di sana, bagiku itu adalah hadiah terindah  selama kami bersahabat. Mereka berdua benar-benar sahabat terbaikku Bar. Sekembalinya aku menyelesaikan setudiku, hari-hari selanjutnya kami disibukkan dengan kegiatan kami masing-masing. Aldie sudah menjadi seorang dokter professional yang berpraktek di beberapa Rumah Sakit ternama, sementara Shintapun dapat mengejar kesuksesan Aldie sebagai seorang ahli Gizi. Dan aku sendiri, sepulangku dari Boston aku langsung memimpin beberapa program acara pertelevisian pada stasiun Telivisi yang juga milik salah satu kerabat papiku. Sempat juga papi dan mami memintaku untuk meneruskan bisnis mereka, tapi aku belum tertarik Bar…, mungkin suatu saat nanti…!, oh ya, bagaima rencana kamu selanjutnya Bar…?” Tanyaku sambil kusuapkan sisa-sisa buah dipiring yang sudah sejak tadi aku bawa-bawa.     

“Entahlah Pram…!, sebenarnya ada tawaran untuk kerja disini dari teman dekatku yang dulu sama-sama di Ausie, mungkin baru minggu depan ini aku akan menghubunginya Pram…!” Jawab Baruna, sambil membuang pandangannya keluar ruangan ini.

“Bar…!, mungkin aku juga bisa Bantu kamu...! terserah kamu, kapanpun dimanapun aku pasti akan bantu, Papi dan mamiku juga akan dengan senang hati untuk menggajakmu bergabung di beberapa perusahaannya” kugenggam erat tangannya hanya untuk sekedar menyakinkannya.

“Thanks Pram...! Let’s seelah man...!” Dia hanya menepuk-nepuk bahuku dengan sebelah tangannya. Aku tahu persis bagaimana sifat Baruna, yang tidak mungkin dapat menerima tawaranku ini. Sepertinya dia lebih percaya pada kemampuannya sendiri, aku sangat menghargai keputusannnya ini.   

            Akhirnya kami berdua semakin larut dalam pembicaraan yang seru, kami saling bercerita tentang apapun. Rasa kehilangan yang dulu pernah kami berdua rasakan dapat kami curahkan saat ini. Kadang cerita kami berdua ini saling berselang antara cerita-cerita seru dengan cerita-cerita yang mengharukan, saat Baruna harus kehilangan papanya yang teramat dia sayangi. Kini dia hanya tinggal berdua saja bersama mamanya, mungkin ini adalah salah satu alasan kembalinya dia dari Ausie. Baruna sepertinya tidak ingin kehilangan orang yang teramat dia cintai untuk yang kedua kalinya, untuk itu dia rela meniggalkan kariernya yang cemerlang selama dia bekerja disana dan pada akhirnya memutuskan untuk tinggal disini menemani mamanya menghabiskan masa tuanya bersamanya.    
* * * * *
                Seperi biasanya pagi-pagi sekali aku sudah harus bersiap-siap diri berada di depan kamera untuk acara berita pagi secara live, hal ini sudah menjadi kegiatan keseharianku selama aku menekuni  bidang pekerjaan ini. Masih banyak segudang kesibukanku yang lainnya sepanjang hari ini. Karena sudah menjadi bagian dari hidupku, pekerjaan ini tidak pernah membuatku bosan maupun membatasi seluruh kehidupanku. Mungkin kesibukan-kesibukanku ini adalah salah satu yang membuatku sulit sekali menemukan pasangan hidupku, bukannya aku tidak ingin mengikuti jejaknya Aldie dan Shinta, akan tetapi sepertinya belum ada seseorang yang cocok dihatiku. Banyak diantara keluarga, kerabat, dan juga teman-teman dekatku yang menjodohkanku dengan beberapa teman maupun saudaranya, akan tetapi usaha mereka ini belum berhasil secara nyata.
            Siang ini rencananya aku akan makan siang bersama sepupuku Wisnu pemilik stasiun televisi tempatku bekerja. Menurut informasi Wisnu, katanya siang ini sengaja mengajakku makan siang bareng karena ada beberapa program acara baru yang ingin dia bicarakan denganku. Aku sudah dapat membayangkan tantangan apalagi yang ingin di ujikan untuk aku. Untuk mengurus semua program acaraku saja, aku sudah sangat kewalahan sekali, nyaris tidak ada waktu senggang untuk memikirkan hal lain lagi, hampir seluruh  waktuku benar-benar tersita hanya untuk mengurusinya. Sepertinya aku tidaklah akan sanggup jika harus mengurusi program acara yang baru lagi, meskipun menurut Wisnu secara konsep sudah diaturnya sedemikian rupa termasuk dengan beberapa crew baru yang sudah direkrutnya. Tapi itu terserah Wisnu saja, aku belum dapat memutuskannya, karena aku belum tahu persis seperti apa konsep program acara barunya ini.
            Sudah seperempat jam lamanya aku menunggu Wisnu di restoran yang sudah di janjikan. Bukan Wisnu namanya jika tidak ngaret, aku sering banget dibuatnya kesal jika harus janji ketemuan dengannya, tidak hanya sekali ini saja, sering sekali dia melakukan hal yang sama dengan alasan yang sepele banget sebenarnya. Telat bangunlah, lupalah, atau bahkan sibuk bangetlah dan segudang alasan lainnya. Percuma saja dia punya banyak sekretaris yang selalu mengurusinya. Tapi itulah Wisnu, dibalik kesuksesaannya sebagai pengusaha muda, terselip sedikit kekurangannya yang tidak banyak orang tahu selain orang-orang terdekatnya.  
            Daripada cacing-cacing diperutku semakin tidak dapat di komfromi untuk tidak berkudeta dengan aneka bunyi-bunyian yang membuat ulu hatiku semakin melilit minta diisi. Akhirnya kuputuskan untuk memesan makanan terlebih dahulu, biarlah Wisnu akan menyusul nanti, salah sendiri selalu datang terlambat, aku tidak mau penyakit maagku kambuh hanya gara-gara harus menunggu Wisnu yang terlambat datang. Dan benar saja hingga aku hampir menghabiskan menu makan siangku ini, Wisnu benar-benar belum menampakkan batang hidungnya bahkan tanpa kabar samasekali. Aku semakin asyik menikmati suap demi suap  makan siangku ini, jika tidak dikagetkan oleh sebuah teguran halus, mungkin aku akan terus saja asyik dengan kegiatan makan siangku ini. Aku hampir tersedak oleh makanan yang tengah aku kunyah dimulutku ketika melihat sosok yang tengah berdiri di hadapanku ini. Sosok jangkung yang selalu datang tiba-tiba dan sangat mengagetkanku. Dia berdiri mematung dihadapanku dengan penampilan yang sedikit berbeda sekali. Setelan kemeja bergaris lembut berwarna warm white dengan dasi motif floral warna cerah yang melingkar pada kerah di lehernya yang kokoh dan sedikit memepelihatkan otot bahunya yang kekar. Wajah tampannya terlihat sangat segar dengan potongan rambut kelimisnya yang disisir secara acak dengan sebagian poni yang dibiarkan menutupi sebagian dahinya. Senyumnya terus saja mengembang dengan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi, sungguh sosok yang sempurna. Aku masih saja terbengong memperhatikan orang yang sejak beberapa detik yang lalu berdiri dihadapanku ini.

“Wah, makan siang yang nikmat nih…?” sapanya, sambil duduk dihadapanku.

“Baruna….?, makan disini juga…?” belum habis rasa kagetku, dia sudah memanggil pelayan restoran untuk segera memesan makan siangnya.

“Sebenarnya kebetulan juga sih Pram, tadinya aku janji makan siang disini bareng temanku yang menawari aku kerjaan itu Pram, hanya saja dia mungkin datang terlambat. Sempat bingung juga sih, ketika dia baru saja mengabari keterlambatannya ini, tapi ternyata ini memang hari baikku Pram, Tanpa sengaja aku lihat kamu tengah asyik makan disini, aku jadi ikutan lapar deh jadinya…” dia sedikit terbahak, aku hanya manggut-manggut saja sambil mengaduk-aduk sisa makanku.

“Tapi maaf  Bar, makananku sudah hampir habis nih…!” kataku sambil menunjukkan sisa makanku pada Baruna.
“It’s oke Pram, kamu kan bisa sambil makan dessertnya saat aku makan nanti” dia sedikit merebahkan diri pada sandaran kursi yang memang lumayan empuk ini.

“Aku berhenti makan dulu deh, sampai makanan pesananmu datang...!” aku menghentikan makanku dan ikut bersandar dikursiku seperti yang Baruna lakukan.

“Lho kok gitu Pram...?, mana enak makan pakai acara dua sesi gitu...!” Baruna menertawaiku sambil kembali menyodorkan makananku.

“Enggak enaklah Bar, masa kamu nonton aku makan sambil menelan air liur gitu..!” candaku sambil tetap bersandar dikursiku.

“Selera makanmu bisa hilang Pram, jika harus menunggu makanan yang aku pesan datang disini” Baruna memaksaku untuk melanjutkan makanku dengan menarik-narik lenganku.

“Kok kamu maksa sih…!, yang punya selera makan kan aku, bukan kamu…! Jadi enggak bakalan ngaruh kali Bar…!” Aku mencibir kearahnya, sementara dia hanya garuk-garuk kepala saja dengan ulahku ini.

“Ya sudah, kalau kamu enggak mau nerusin, biar aku saja yang menghabiskannya…!” candanya sambil mulai menyuapkan sisa makanku tadi.

“Baruna…? Dasar….! bilang saja kamu memang mau makananku…!” Aku mencibir kearahnya yang tengah asyik mengunyah makananku.

“Wah enak banget Pram…!, sini aku suapin kamu….!” Baruna berusaha menyuapkan makanan kemulutku.  
Awalnya aku berusaha untuk menolaknya, namun karena Baruna benar-benar memaksanya, akhirnya aku mau juga disuapi olehnya, asyik juga makan seperti ini, jadi mengingatkanku pada kenangan masa kecilku bersamanya dan juga Aldie. Dulu kami sering makan bersama sepulang sekolah, sering tukar-tukaran lauk maupun sayur yang kami bawa. Papahare istilah makan bersama ini, kami tidak hanya melakukannya diteras rumah saja,  bahkan lebih sering dikebun maupun di taman belakang. Kenangan itu sepertinya masih terekam dengan jelas dalam ingatanku dan juga Baruna tentunya, kami asyik mengaduk-aduk makanan yang berkuah dan saling menyuapkan satu sama lain hingga makanan kami berdua habis nyaris tidak bersisa. Makan siang kali ini benar-benar telah mengenyangkanku, hingga aku sedikit kesulitan untuk bernafas.

“Kamu rakus Pram, makananku saja ikut kamu habiskan…!” ledek Baruna sambil kembali menyandarkan tubuhnya dikursi empuk mungkin karena sedikit kekenyangan.

“Kamu yang curang Bar..!, terus-terusan jejelin aku dengan suapanmu tadi” aku berusaha membela diri dengan nafas yang sedikit terengah.

“Kamu tidak berubah ya Pram…! Masih seperti dulu, aku jadi kangen masa-masa itu Pram” Baruna seperti menerawang pada ingatan masa kecilnya.

“Kamu juga sama Bar, tidak pernah berubah, masih konyol seperti dulu...!” aku jadi ikut-ikutan mengingat masa-masa indah dulu.

“Pram, kalau kamu ada waktu, sering-seringlah main kerumahku...!, mamaku sering nanyain kamu tuh…!” ajak Baruna sambil menatap kearahku.

“Pastilah Bar…!, kamu juga dong, main ke tempatku…!” jawabku sambil meneguk air putih hanya untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang tertinggal diantara rongga mulutku dan sela-sela gigiku.

“Akan aku usahakan Pram...!” jawabnya, sambil terus menatap kearahku dengan senyum manisnya dan sorot matanya yang tajam.

“Oh ya, bagaimana jika sore ini saja..!, kamu bisa Bar...?. Rencananya setelah meeting dengan sepupuku, aku mau langsung pulang Bar..., Kamu sendiri bagaimana ..?”tanyaku sambil menunggu jawabannya.

“Boleh…! Aku bisa kok, usai ketemuan dengan temanku ini, aku juga free kok…!” jawabnya sambil mengangkat kedua telapak tangannya.

“Baguslah, kalau begitu Bar..! Anyway, kamu ketemu temanmu disini kan…?” tanyaku, seingatku dia tadi menyebutkan akan bertemu dengan temannya disini.

“Yups….! Sepertinya dia sudah datang tuh…!” Baruna menunjuk pada arah datangnya orang yang dia maksudkan sebagai temannya, kulihat ada seseorang yang tengah bergegas menuju pintu masuk restoran ini.

“Ya sudah, lebih baik kamu buru-buru temui dia Bar…!” aku menyuruhnya untuk segera beranjak dari tempatnya duduk.

“Biarlah Pram, dia pasti akan mencariku disini, sekalian ingin aku kenalkan dengan kamu Pram..!” jawabnya dengan santai.

            Aku kembali merebahkan dikursi empuk ini, sambil memperhatikan seorang pelayan yang tengah membereskan piring-piring dan juga gelas bekas makan siang aku dan Baruna. Perutku benar-benar seakan mau meledak jika tidak segera aku keluarkan, untuk itu aku berpamitan pada Baruna untuk segera ke kamar kecil. Dengan mengeluarkanya dalam sebentuk air seni yang meskipun jumlahnya tidaklah begitu menguras isi perutku, paling tidak dapat sedikit mengurangi rasa sesak yang disebabkan kelebihan muatan pada usus besar dan juga kandung kemihku. Tidaklah begitu lama aku berada di kamar kecil, begitu selesai merapihkan diriku kembali, aku langsung menuju tempatku duduk bersama Baruna tadi. Sesampainya di sana, aku kembali dikagetkan oleh sosok laki-laki yang tengah duduk bersebelahan bersama Baruna. Tidak lain dan tidak bukan, sosok laki-laki itu adalah Wisnu sepupuku.

“Itu dia Nu, sahabatku yang baru saja aku ceritakan tadi” Baruna menunjuk kearahku sambil bangkit dari duduknya.

“Wisnu….? Kok kamu baru datang sih…!, kebiasaan deh…!” gerutuku sambil duduk di kursiku kembali.

“Sorry Pram….!, Jangan ngambek gitu dong…!” Wisnu berusaha membujukku dengan mimik yang dibuat memelas karena merasa bersalah terhadapku.

“Basi tau…!. Oh ya, kenalin ini temanku Baruna…!” kataku sambil menunjuk kearah Bara.

“Pram...., Baruna ini temanku juga waktu Ausie dulu...!” jawab Wisnu sambil mendelik kearahku.

“Oh jadi…? Wisnu ini, teman yang kamu maksud itu Bar…?” Tanyaku pada Baruna, dia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum saja.

“Aku juga baru tahu barusan Pram, jika Wisnu ini adalah sepupumu yang sedang kamu tunggu juga” Tawa Baruna semakin mengembang manakala mengetahui peristiwa yang benar-benar kebetulan dan tidak pernah menduganya.

“Pram dan juga Bara, sebenarnya aku juga tidak pernah menyangka sebelumnya dengan semua kebetulan ini. Aku hanya bermaksud ingin mempertemukan kalian, karena sehubungan dengan program acara baru yang akan aku sampaikan pada kalian berdua” Wisnu menengahi kekagetan diantara kami bertiga ini.

“Jadi, maksud kamu Baruna adalah orang yang akan ditunjuk untuk memimpin program baru ini Nu...?” tanyaku hanya untuk memastikan saja, karena aku masih bingung dengan segala kebetulan ini.

“Betul sekali Pram…! Baruna ini selain sahabatku, dia juga termasuk orang yang memang sangat berpengalaman sekali dalam dunia pertelevisian khususnya untuk acara-acara yang sifatnya berbentuk hiburan, seperti acara musik, reality show, kuis dan lain sebagainya. Karena dia pernah membuat beberapa program acara televisi tersebut untuk beberapa PH dan stasiun televisi di Ausie sana,” aku hanya manggut-manggut saja mendengarkannya, sementara Baruna sendiri hanya tertunduk saja tanpa ekspresi apa-apa, aku tidak tahu persis apa yang tengah dipikirkannya.

“Selama ini kamu paling jagonya membuat terobosan-terobosan baru untuk semua program acara yang kamu buat Pram, akan tetapi kesemuanya adalah acara yang benar-benar serius, mulai dari pemberitaan, talk show hingga liputan-liputan khusus yang bersifat formal dengan topik-topik yang serius, dan segmentasinya juga hanya dari kalangan tertentu saja. Bahkan acara-acaramu ini sudah menjadi ikon dari televisi kita, karena sumber-sumber yang kamu sajikanpun memang benar-benar dari sumber yang kompeten dan juga up to date, aku bangga dengan semua hasil kerja kerasmu Pram, tidak hanya sebagai pimpinan perusahaan. Akan tetapi secara pribadi dan sebagai sepupumu, dan tentunya juga sebagai teman serta sahabatmu. Terkadang aku suka merasa sangat iri terhadapmu Pram…! Tidak hanya papi mamimu saja yang selalu membangga-banggakanmu, akan tetapi ayah ibuku juga selalu saja membanding-bandingkanmu dengan aku. Terimakasih Pram atas semua ini…!” Wisnu menghampiriku untuk menjabat tanganku dan memelukku, aku hanya terdiam saja dengan semua ini.

“Pram, aku berharap kamu juga dapat membantu Baruna untuk program barunya ini, meskipun program acaranya sangat bertolak belakang dengan kamu, paling tidak kamu dapat membantunya secara structural seperti yang selama ini kamu lakukan tanpa campur tanganku, aku yakin kamu dapat melakukannya demi Baruna dan juga aku Pram…!” Wisnu seperti memohon persetujuanku, padahal sebenarnya dialah yang paling berkuasa dalam hal ini.

“Jujur aku sangat senang sekali, jika Baruna memang benar-benar bergabung bersama kita Nu…! Aku pasti akan banyak membantunya semampu yang aku bisa…!” aku sedikit meluap-luap karena terbawa perasaan bahagiaku.

“Terimakasih Pram, aku semakin bangga terhadapmu…!” Wisnu menepuk-nepuk bahuku menunjukkan rasa terimakasihnya yang tulus terhadapku.

“Selamat bergabung ya Bar…! Aku benar-benar merasa senang” Kuulurkan tanganku untuk menyalami Bara yang masih saja tertunduk.

“Terimakasih  Pram….!” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Baruna, sebelum dia kembali tertunduk seperti tadi.

“Baiklah Bro…! kita rayakan acara pertemuan kita ini dengan makan-makan sepuasnya di sini...!” Wisnu menggandeng aku dan Bara dengan penuh kegirangan.

“Makan...?, kelaut aja kali...!” gerutuku dengan sinis, Wisnu hanya celingukan sendiri tanpa tahu kesalahannya.

“Kita sudah makan Nu...!, kamu sendiri yang telat datang...!” Baruna meyakinkan Wisnu yang masih saja terbengong.

“Liat Nu…!, ini sudah jam setengah tiga sore…!” kataku, sambil menunjukkan jam ditanganku kearahnya.

“Terus gimana dong…?, enaknya kita ngapain nih…?” Tanya Wisnu sambil cengar-cengir kebingungan sendiri.

“Gimana kalau kita main Bilyard, terus nonton dan karokean sampai pagi, besok kan libur ini…!” usulku  pada mereka.
“Wah ide bagus tuh Pram…!” seru Wisnu dengan girang, dia  memang terkadang sering telat mikir   untuk ide-ide dadakan seperti ini.

“Aku sih setuju saja..! apa perlu kita ajak Aldie dan Shinta…?” Tanya Baruna menunggu persetujuanku.

“Boleh juga Bar, pasti mereka mau deh, nanti aku coba telpon mereka!” jawabku, aku yakin sekali Aldie dan Shinta pasti akan senang sekali ikut bergabung bersama kami.

“Eit tunggu…!, aku juga akan ajak Laras calon istriku Pram…!”  dengan bangganya Wisnu menyebut nama itu dihadapan kami berdua.

“Hah…? Enggak salah nih…?” tanyaku dengan sedikit mengernyitkan kening kearahnya.

“Rupanya, kamu serius  juga ya Nu, pacaran sama Laras...!” Baruna hanya tersenyum saja kearah Wisnu, sepertinya dia tahu banyak tentang hubungan Wisnu dengan Laras ini.

“Kamu kenal Bar dengan yang namanya Laras?” aku semakin bertanya-tanya saja, karena tidak pernah tahu dan melihat Wisnu jalan dengan wanita manapun selama ini.

“Iya, kami dulu sama-sama kuliah di Ausie Pram...! Rupanya usaha Laras ini tidaklah sia-sia menaklukan hati sang arjuna yang klemer-klemer ini...!” tambah Baruna seakan meledek Wisnu.

“Aku bukannya klemer-klemer Bar…!, aku pikir dulu Laras itu suka sama kamu Bar, aku jadi merasa tidak enak hati juga jadinya” Wisnu sedikit cengar-cengir menjelaskannya.

“Kamu bisa saja Nu, orang jelas-jelas dulu Laras sering membuatkanmu aneka masakan hanya untuk sekedar menarik perhatianmu, sementara kamu sendiri tidak pernah memperdulikannya” Baruna menonjok bahu Wisnu dengan tawanya yang ngakak.

“Emang chicken nih orang...!” kataku sambil menyikutnya dengan gemas.

“Jangan salah ya bung…! Biar chicken, pada akhirnya aku dapat menggandeng Laras…!, nah kalian…? Mana man….?” Ledeknya, sambil menguncang-guncang bahuku dan juga menonjok lengannya Baruna.

“Iya sih…! Tapi tunggulah, pasti akan ada bidadari itu untuk kami berdua, iya kan Bar…?” Bara hanya mengangguk tanda setuju sambil terbahak.

            Kami bertiga semakin larut dalam canda tawa dan kebahagiaan yang tidak pernah kami duga sebelumnya. Hari semakin sore menjelang malam saat kami meninggalkan tempat ini. Gemerlap cahaya lampu-lampu mercury sudah menghiasi seantero kota yang mulai menggeliat menyambut indahnya kehidupan malam. Langit terlihat begitu cerahnya dihiasi kerlip bintang-bintang bak permata yang bertaburan. Seakan menyambut kebahagiaan kami bertiga yang dipertemukan kembali seperti ingin mengulang masa-masa kecil yang indah yang pernah kami lalui bersama. Dan satu lagi, aku harus berucap syukur pada Tuhan, karena disaat aku harus kehilangan Aldie dengan kehidupan barunya, kini Tuhan telah menggantinya dengan Baruna, yang ternyata sepupu pengantin itu adalah sahabatku.

Buat seorang Mario Patrick...


Sosok Dalam Bayangan
By : Ganta Vaksie

Sahabat, terimakasih atas atensi kamu sudah ikut bergabung di acaraku ini,  dari  jam sembilan tadi hingga tengah malam ini….,
Anyway, saat ini Mario harus segera undur diri, pastinya ada sebuah lagu terakhir yang akan aku putarkan untuk menemani  tidur kamu malam ini…, Sampai jumpa lagi besok,
and have a nice dream…Bub’bye…

Langsung kumatikan radioku begitu acara yang Mario bawakan ini selesai. Aku kembali merebahkan diri di atas tempat tidur dan berusaha untuk segera memejamkan mata. Malam kian hening. Dari ketinggian lantai 9 apartemenku ini, masih aku lihat melalui jendela kamarku yang aku buka lebar-lebar gordyn serta fitrace penutupnya. Langit sedikit gelap nyaris  tidak tampak gemintang juga cahaya sang bulan. Mataku sulit sekali untuk aku pejamkan, aku masih saja kefikiran atas apa yang terjadi denganku. Hampir tiga bulan ini, aku boleh dibilang keranjingan dengan acara yang Mario bawakan barusan. Sebenarnya bukan acaranya yang membuatku keranjingan, akan tetapi suara serta sosok sang penyiarnya ini yang membuatku kian hari kian uring-uringan. Aku hafal betul kapan dan jam berapa saja jadwal Mario siaran. Kapan dan dimanapun aku akan berusaha sebisa mungkin untuk selalu menyimaknya saat dia tengah mengudara. Bisa di kantor, di perjalanan, di rumah, atau dimanapun sebisa mungkin, meski harus mendengarkan melalui Ipod ataupun ponsel aku tidak pernah melewatkannya. Tentunya aku juga selalu berpartisipasi dengan mengirimkan beberapa SMS, tidak hanya untuk sekedar nimbrung atau hanya request lagu saja, terkadang topik-topik yang dibawakannya ini memang sangat  menarik untuk dibahas dengan mengundang para pendengar setianya dengan berkirim SMS.
            Yang lebih gila lagi, sudah beberapa minggu ini aku melakukan pengintaian terhadap seseorang yang aku yakin dia adalah sosok Mario sang penyiar idolaku akhir-akhir ini. Mengapa sebegitu yakinnya jika sosok itu adalah Mario, dia adalah seorang laki-laki muda mungkin berumur sekitar 28 atau 30 tahunan gitu. Lumayan tampan, dengan hidung bangirnya, berkulit putih dengan bibir merahnya. Tingginya mungkin sekitar 175 sentimeteran, karena hanya sedikit berbeda saja tingginya denganku. Aku tahu itu ketika secara kebetulan aku berada dalam satu lift dengannya. Biasanya aku sering melihat dia ketika kami sama-sama di gym atau saat berpapasan di pintu lift karena dia memang tinggal di apartemen yang sama denganku. Hanya saja aku tidak tahu persis dia menghuni di unit yang mana. Ingin rasanya aku dapat memberanikan diri untuk mengawali menyapanya. Sepertinya aku selalu saja mengurungkan diri ketika hendak memulainya, aku selalu saja tidak kuasa saat beradu pandang dengannya. Mata indahnya begitu tajam saat mata kami saling beradu secara tidak sengaja. Mata itu yang selalu membuatku ciut dan bertekuk lutut dihadapannya. Sikapnya yang cuek bahkan terkesan masa bodoh ini yang semakin membuatku selalu penasaran untuk mengenalnya lebih jauh. Sepertinya dia adalah pribadi yang menyenangkan, aku dapat melihat itu saat dia secara tidak sengaja bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Mungkin aku saja yang terlalu parno membayangkan dirinya, aku selalu berkecamuk dengan opini-opini tentangnya seperti yang selama ini aku khayalkan.
            Pagi ini menjelang berangkat ke kantor, aku menyempatkan diri untuk menguntitnya dari kejauhan. Aku tidak tahu persis apakah dia menyadarinya jika selama ini aku terus saja menguntitnya. Aku yakin dia tidak akan pernah tahu mengenai hal ini, dan jangan sampai dia tahu pastinya. Apa jadinya jika dia tahu jika aku ini adalah penggemar rahasianya yang selalu menguntitnya kemanapun dia pergi pada setiap kesempatan yang aku miliki. Aku semakin asyik dengan kegiatan baru ini, lumayan sport jantung juga sebenarnya, akan tetapi semakin berat tantangannya akan semakin asyik aku jalani. Aku perhatikan sejak tadi, dia sama sekali tidak pernah menoleh sedikitpun kearah belakang, dengan santainya dia berjalan sambil menunduk dengan kepala tertutupi oleh bagian penutup kepala pada cardigan yang dikenakannnya.  Derap langkahnya sangat teratur menapaki jalanan yang menuju koridor gedung tempat dia bekerja atau berkegiatan lainnya yang tidak aku ketahui secara pasti.  Sementara kantorku terletak di gedung yang berada disebelahnya yang hanya dibatasi lorong-lorong yang menghubungkan antara beberapa gedung  perkantoran dengan gedung hunian apartement tempat aku tinggal sekarang ini. Aku masih saja terus mengintainya dari kejauhan, meskipun saat ini aku tengah menerima panggilan telpon dari kerabatku, aku masih dapat dengan leluasa mengikuti langkahnya dari tempat aku berdiri ini. Bahkan aku juga dapat melihatnya dengan jelas, jika dia tengah memesan kopi sambil membolak-balikkan harian pagi yang baru saja dia ambil di tempat yang disediakan kedai kopi asal Amerika ini. Entah asalnya dari mana, tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku yang membuatku sedikit tersungkur ke pinggiran tembok. Tidak hanya rasa kaget yang luar biasa yang aku rasakan, namun sikuku juga terasa nyeri terkena benturan di tembok. Begitu aku menyadari ternyata aku berdiri persis di depan pintu keluar masuk petugas kebersihan gedung, Huhhh…kok bisa aku sesial ini sih, fikirku.

“Ukhhhh…ehmmmm, maaf…maaf…!, saya benar-benar mohon maaf, tidak sengaja sudah menabrak anda” petugas kebersihan ini begitu ketakutannya melihatku meringis menahan sakit di siku. Dengan menempelkan kedua telapak tangannya di dada dan sedikit membungkukkan badan, dia berulang kali memohon maaf terhadapku.

“It’s OK Pak…!, saya tidak apa-apa kok, justru saya yang minta maaf karena sudah menghalangi jalan yang akan Bapak lewati” Aku berusaha menenangkannya, dengan menyodorkan tanganku untuk berjabatan tangan dengannya.

“Terima kasih, sekali lagi saya mohon maaf..!” Kami berdua saling berjabatan tangan, sepertinya Bapak ini masih saja terus merasa bersalah dengan ulahnya tadi.

“Baik Pak, saya permisi ya...!” kataku, sambil berlalu dari hadapannya.

            Hilang sudah target intaianku gara-gara peristiwa tadi, karena aku lihat dia sudah tidak berada di kedai kopi itu lagi, aku fikir tadinya dia akan lama berada di kedai itu, namun ternyata dia hanya take a way saja kopi yang dipesannya tadi. Mungkin saja dia akan meminumnya disaat dia melakukan aktivitasnya nanti. Karena targetku sudah menghilang dari pandangan, tidak ada jalan lain, selain meneruskan langkahku menuju kantor tempat aku bekerja. Sepertinya langkahku kali ini tidaklah seseru tadi, yang ada di kepalaku saat ini hanyalah setumpuk pekerjaan yang sudah menungguku di meja kerja, dimana hampir seluruhnya sudah dikejar deadline.
            Menjelang jam makan siang sebagian pekerjaanku ini sudah aku rampungkan, hanya tinggal aku koreksi sebentar sebelum akhirnya aku serahkan ke divisi lain untuk di proses lebih lanjut. Perutku sebenarnya tidaklah begitu lapar, karena tadi pagi aku sudah mengganjalnya dengan sepiring nasi goreng buatanku sendiri, bahkan sisanya masih aku simpan di dalam lunch box yang ada didalam tas kerjaku, hanya untuk berjaga-jaga saja jika aku malas untuk makan diluar ataupun jika tidak sempat karena kesibukanku. Hanya tinggal sedikit pekerjaan yang semula menumpuk tadi, lebih baik aku kebut saja supaya aku bisa lebih santai saat menjelang pulang kantor nanti. Untuk mengusir kejenuhanku sambil menyelesaikan sisa pekerjaanku ini, seperti biasanya aku menghibur diri dengan memutar chanel radio yang biasa sang pangeran impian itu siaran. Lumayan terhibur juga saat  aku kembali mendengar suara seksinya mengudara melalui acara musik pengantar makan siang. Aku dapat membayangkan gerak bibirnya saat dia berbicara, wajahnya yang kelimis dengan sisa-sisa kerokan yang sedikit membiru pada bagian jambang, kumis, dan juga jenggotnya. Akh...pangeran impianku, kau sudah membuatku dimabuk kepayang seperti ini....

Sahabat, lagu berikut yang akan saya putarkan, saya kirimkan khusus buat seseorang yang setiap saat selalu menemani saya berangkat ke studio, ke gym atau tempatku beraktivitas lainnya...
Thanks atas segala atensi kamu…
 Oh ya, gimana sikunya sudah tidak sakit lagi kan…?,
Kasih kabar ya…!, saya tunggu lho SMS nya ..!
Anyway, untuk yang lainnya, masih saya tunggu juga SMS nya..!
Jangan lupa formatnya..! JE-KA-TE untuk Jakarta BE-DE-GE untuk Bandung spasi nama, spasi umur spasi request lagunya apa, atau apa pun cerita kamu seputar makan siangnya kali ini…
Mario disini masih akan terus nemenin kamu hingga jam empat sore nanti…..
Dan buat kamu si penguntit, have a nice lunch…!

            Dughhhh….jantungku seakan berhenti berdetak mendengarnya. Benarkah dia tahu jika selama ini aku menguntitnya ?. Kalaupun dia mengetahuinya, mengapa dia diam saja tidak menegurku sejak awal, atau mungkin dia baru saja menyadarinya jika aku tengah menguntitnya. Wajahku terasa panas sekali, aku benar-benar malu dengan ulah gilaku ini karena sosok yang selama ini aku kuntit terus adalah benar-benar seorang Mario. Jelas sudah sekarang, jika aku telah menaruh hati kepadanya. Terus apa yang harus aku lakukan selanjutnya..? Apakah aku akan terus-terusan untuk menguntitnya seperti kemarin-kemarin ini. Aku rasa, tidaklah mungkin untuk aku teruskan. Gila aja kali, jika aku tetap nekat melakukan itu lagi, bagaimana mungkin aku berani melakukannya lagi  karena dia sudah mengetahuinya. Lebih baik mulai saat ini aku hentikkan pengintaianku terhadapnya, aku yakin ini adalah jalan terbaik untuk menghentikkan kegilaanku ini. Kalaupun pada akhirnya aku harus dipertemukan dengannya atau bahkan dapat mengenalnya lebih jauh, pastilah akan ada kesempatan itu yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya, semoga saja.
            Sorenya sepulang kantor, sengaja aku tidak langsung pulang ke apartemenku. Aku sempatkan untuk  mampir di swalayan yang terletak di basement gedung perkantoran tempatku bekerja. Ada beberapa barang dan keperluan dapur yang harus aku beli sekalian hitung-hitung melepaskan penat yang ada setelah seharian bekerja. Tidak begitu banyak orang-orang yang berbelanja sesore ini, kebanyakan yang berbelanja adalah orang-orang sepertiku yang hanya memiliki waktu setelah jam pulang kantor. Aku terus berjalan santai sambil mendorong trolly mengitari lorong-lorong tempat menaruh barang-barang yang ditata berdasarkan jenisnya. Banyak juga barang belanjaanku kali ini, karena memang persediaannya sudah hampir menipis, mulai dari detergent, shampoo, pasta gigi dan juga perlengkapan dapur lainnya. Seperti biasanya jika sedang berbelanja aku suka asyik sendiri memilah-milah barang yang hendak aku beli, tanpa memeprdulikan keadaan di sekelilingku. Rupanya sudah sejak tadi, ada sepasang mata selalu memperhatikan gerak-gerik aku selama berbelanja disini, namun sayangnya aku tidak menyadari itu, kalau saja dia tidak menegurku terlebih dahulu yang membuatku sekaget ini, bukan hanya karena dengan tiba-tiba dia sudah ada dihadapanku, akan tetapi orang ini, sosok orang yang selalu aku kuntiti selama ini karena rasa kagumku terhadapnya.

“Hi, Untit….!” Sapanya dengan ramah, akan tetapi sudah membuat mataku terbelalak dan hampir mencelat dari kelopaknya.

“Upssssssssss……!!!” aku tidak mampu berkata apa-apa lagi, selain buru-buru menutup mulutku yang tetap menganga saat melihatnya sudah berdiri dihadapanku.

“Kenapa…? Kaget ya…?” dia senyum-senyum sendiri melihat tingkahku karena rasa kagetku ini.

“Ehmmmmmmmmmm, kamu….?” Aku bingung harus berkata apa, dan hanya bisa berdiri mematung dihadapannya.

“Iya ini aku, Mario…!” dia mengulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman.

“Kok kamu tahu aku di sini...? karena kebetulan atau....?” aku tidak meneruskan kata-kataku, karena aku takut salah menebak.

“Menguntit, maksud kamu ?,” dia meneruskan kata-kata yang aku maksudkan tadi, aku tidak menjawabnya hanya membuang muka ke arah lain, aku tidak sanggup untuk beradu pandang dengannya.

“Jangan khawatir, ini hanya kebetulan saja kok…!” mata elangnya bergerak-gerak indah menatapku dengan tajam, aku semakin tidak berkutik saja dibuatnya.

Anyway, boleh aku temani belanjanya…?” belum juga aku menolak maupun mengiyakan, dia sudah mendorong trolly belanjaanku.

“Thanks..!” suaraku sedikit pelan nyaris tidak terdengar, sambil terus menjejeri langkahnya  kembali menyusuri koridor yang menuju tempat sayuran, buah-buahan  dan juga aneka ikan serta daging.

“Mana belanjaan kamu…?” akhirnya aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.

“Aku enggak belanja kok…!” jawabnya enteng.

“Trus… ?” aku sedikit bingung dengan jawabanya.

“Eit…jangan parno dulu ya…!, aku datang kesini  hanya untuk makan kok” dia berusaha menjelaskan, meskipun tetap saja aku masih merasa heran saja.

“Makan kok di sini...?” tanyaku semakin heran dibuatnya

“Salah ya...?, disni kan ada tempat makannya juga Tit...!” tetep saja dia memanggilku dengan sebutan Untit meskipun aku sudah memberitahukan namaku.

“Iya sih, biasanya tempat makan di sini, hanya untuk orang yang kelaperan di saat dia sedang berbelanja disini, mana ada orang yang dengan sengaja datang ke sini hanya untuk makan, aneh aja...!” kulihat dia hanya terbahak saja mendengar ucapanku ini.

“Aneh ya...? mungkin tidak hanya aku saja kali Tit, yang sengaja datang kesini hanya untuk makan doang, kamu saja yang enggak tahu. Coba deh, besok-besok kamu untitin ya...! jangan cuman menguntit aku doang ..!” dia semakin terpingkal.

“Kamu tuh ya…!, kesannya aku ini memang spesialis penguntit deh…!” aku mendelik kearahnya, bukan karena kesal akan tetapi gemas dengan ulahnya ini.

“Tapi bener kan…?, lha wong belakangan ini kamu untitin aku terus kan…?” tuduhnya, sambil menghentikkan laju trolly barang belanjaanku.

“Jangan ge-er kamu..!, Memangnya kamu tahu dari mana…?” jujur saja mukaku sedikit memanas karena malu,  mungkin jika dia memperhatikannya akan jelas terlihat.

“Ya tahulah, memangnya kamu ini detektif..?, dengan cara yang profesional dalam melakukan pengintaian tehadap targetnya, sementara kamu…?” dia semakin terbahak di hadapanku.

“Kenapa memangnya denganku…?” aku sedikit mengernyitkan keningku sambil menunggu jawabannya.

“Grasa-grusu tau…!, kamu ingat kan kejadian tadi pagi..?, itu salah satu kejadian, yang meyakinkanku jika selama ini kamu terus buntutin aku” dia kembali mendorong trollynya, aku hanya mengikuti saja disampingnya.

“Gitu ya…?” jawabku, garing juga sih sebenarnya.

“Kalau boleh aku tahu, kenapa sih kamu melakukan ini…?” Dia kembali menghentikan langkahnya dan menatapku dengan tajam, aku semakin gelagapan dibuatnya.

“Ehmmmmmm, aku juga sebenarnya enggak tahu….” Aku sedikit bingung bagaimana harus menjawabnya.

“Kok bisa sih….?, kamu melakukan sesuatu yang kamu sendiri enggak tahu kenapa, Hi Utit…come on, tell me what’s matter with you…?”dia menarik lenganku sepertinya dia sangat penasaran sekali dengan jawabanku.

“Mario, aku kan udah bilang, aku bener-bener enggak tahu, mungkin hanya iseng saja kali” jawabku sekenanya.

“What….? Hanya iseng, kamu bilang…?” dia semakin gusar saja dengan sikapku ini.

“Persisnya memang aku enggak tahu Mario, awalnya aku hanya penasaran saja kok. Tapi sudahlah,  enggak worthy kali..!” aku segera berlalu meninggalkannya.

“Utit…! Tunggu sebentar…! Dia berlari mengejarku sambil mendorong trolly belanjaanku.

“Apalagi sih Mario…?” aku mengehentikan langkahku, hanya untuk sekedar menunggunya .

“Aku hanya ingin memastikan saja, kamu naksir aku kan…?” tanyanya begitu pede sekali.

“Jangan ge-er ya…!” aku hanya bisa mencibir dengan ulahnya ini dan kembali berlalu meninggalkannya, diapun buru-buru mngejarku sambil terus mendorong trolly belanjaanku.

“Utit…! Coba gimana aku enggak yakin, jika kamu juga kan yang  sering kirim SMS setiap aku siaran..? bahkan bingkisan-bingkisan itu juga dari kamu kan…?” dia meneyerangku dengan segudang pertanyaan, yang aku sendiri juga bingung untuk menjawabnya.

“Denger ya Mario…! Jangan pernah paksa aku untuk mengakui semua itu, sekarang lebih baik tinggalkan aku, kita tidak pernah ada urusan…!” aku buru-buru merebut trolly belanjaanku dan segera berlalu dari hadapannya.

“Hi… take it easy…!, kamu tidak perlu marah gitu kali…!” dia berusaha mengejarku dan menghentikkan langkahku.

“Oke, terus mau kamu apa..?” aku setengah berteriak dan sedikit ngos-ngosan.

“Utit, please dengerin aku dulu..!, aku enggak marah jika selama ini kamu kuntit terus. Justru malah sebaliknya, aku suka dengan petualangan ini. Tadinya aku tidak akan buka jika aku tahu kalau belakangan ini kamu kuntit aku terus. Hanya saja aku tidak kuasa untuk menahnnya berlama-lama lagi. Karena sejujurnya aku juga sering perhatikan kamu, sehingga aku tahu jika kamu menguntit aku. Utit..., asal kamu tahu, sebenarnya aku memang suka sama kamu..!” dia mengenggam tanganku tanpa memperdulikan orang-orang disekeliling yang tengah asyik berbelanja. Aku hanya bingung saja, aku musti bagaimana. Apakah aku harus merasa senang dengan pernyataan Mario ini, atau entahlah.

“Utit, kamu tidak perlu menjawabnya sekarang..!, aku akan menunggunya hingga kamu siap dengan semua ini” Dia kembali berjalan bersisian bersamaku ikut mendorong trolly disebelahku menuju beberapa anjungan tempat aneka makanan dan juga jajanan di jajakan di sini.   

“Maafin aku Mario, atas semua kejadian ini...!, sebenarnya aku hanya mengagumi sosok kamu melalui suara kamu saat kamu sedang siaran. Sejak saat itu, aku selalu terobsesi untuk tahu dan memimpikan sosok nyata kamu” akhirnya keluar juga kata-kata ini dari mulutku, padahal sebelumnya aku akan merasa malu jika Mario tahu yang sebenarnya.

“Utit...tidak ada yang harus aku maafkan kok...justru kejadian ini, semakin membuka peluangku untuk mengenalmu lebih jauh, bila aku harus dengan diam-diam memperhatikan kamu karena kita tinggal dan berkantor di gedung yang sama pula” kami berdua sudah duduk di salah satu warung anjungan yang menjual aneka makanan berkuah.

“Terimakasih Mario...!” kupandangi wajah tampannya yang selama ini hanya ada dalam bayanganku saja.

“Sama-sama Utit....!, hari ini aku seneng banget, akhirnya semua mimpi-mimpi ini menjadi kenyataan” mata tajamnya semakin membuatku salah tingkah.  

            Kami berdua sama-sama larut dalam khayalan masing-masing, semua mimpi-mimpi indah ini akhirnya menjadi sebuah kenyataan, kenyataan yang indah. Mungkin saja hari-hari selanjutnya akan aku hadapi selalu dengan senyuman penuh warna-warna indah bersamanya. Seorang Mario, laki-laki tegap, tampan dan bersuara indah yang selalu membuatku merinding ketika membisikkan kata-kata cinta di telingaku. Selamat tinggal kesendirian yang hening, selamat tinggal mimpi-mimpi yang menghanyutkanku. Kini dia nyata, telah aku temukan sosok dalam bayangan yang selama ini mengisi malam-malamku dikala aku sendiri, atau ketika aku melamunkannya di setiap kesempatan yang aku miliki. Karena kini ada sosok nyata Mario, tidak hanya sebuah sosok dalam bayangan.